Powered By Blogger

Jumat, 22 April 2011

Hanya Ada Satu Kebenaran


MUQODDIMAH
Permaslahan ini penting untuk diketahui oleh setiap muslim, lebih-lebih mereka yang berkiprah di bidang dakwah. Sebenarnya, pembahasan ini memuat suatu kaidah yang sangat dikenal oleh ulama salaf, tetapi menjadi asing di masa sekarang ini.

Kaidah itu berbunyi : Kebenaran itu satu. Kaidah ini berlaku dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang diperselisihkan oleh ulama ahlus sunnah wal jama’ah.

Diharapkan risalah ini dapat menjadikan kita untuk mudah rujuk kepada kebenaran dalam masalah khilafiyah ijtihadiyah dan membuang sikap taklid buta serta tidak tabu untuk membicarakan masalah khilafiyah. Kedua diharapkan dari risalah ini agar kita toleran dengan saudara-saudara kita yang mempunyai pendapat yang berbeda selama perbedaan ini dalam hal ijtihadiyah bukan perbedaan aqidah atau yang bersifat prinsip. Agar kita toleran dengan saudara-saudara kita yang mempunyai pendapat berbeda selama kita semua tidak mengikuti hawa nafsu dan sudah optimal berusaha untuk mencapai kepada kebenaran.

PERMASALAHAN IKHTILAF/ KHILAFIYAH
Perlu diketahui bahwa yang saya maksud dengan ikhtilaf di sini adalah ikhtilaf tadladl, yaitu perbedaan pendapat yang saling menafikan ( bertentangan ). Di dalam ikhtilaf seperti ini yang benar hanya satu.

Ada juga macam ikhtilaf yang lain, yaitu ikhtilaf tanawwu’. Di dalam ikhtilaf tanawwu’ semua pendapat benar, seperti :
1. Dua perkara atau perbuatan yang disyari’atkan, seperti macam-macam do’a iftitah, bacaan sujud dan lainnya. Untuk bentuk seperti ini kadang-kadang salah satunya ada yang lebih utama.

2. Dua lafadz yang berbeda tetapi mempunyai makna yang sama atau mendekati. Contoh surat Al-Fatihah disebut juga dengan Ummul Kitab, aqiqah sama dengan nasikah. Kata “qadla”dalam firman Allah:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia “ [al-Isra : 23]

Ibnu Abbas berkata “qadla” berarti “ memerintahkan “, Mujahid mengatakan “ mewasiatkan “, Rabi bin Anas mengatakan “ mewajibkan “. Kata-kata “ memerintahkan “, “mewasiatkan“ dan “mewajibkan” mempunyai makna yang hampir sama.

3. Dua lafazh dengan makna berbeda, tetapi tidak saling menafikan bahkan saling melengkapi atau mencakup semua di dalamnya. Contoh kata “ an na’iim “ dalam firman Allah :

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

"Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)." [at-Takatsur : 8]

Sebagian ahli tafsir mengatakan “ an na’iim “ bermakna keamanan, kesehatan, kecukupan dalam makanan dan minuman. Sebagian mengatakan ringannya syari’at dan sebagian lagi mengatakan nikmat pendengaran dan penglihatan.
Dari sini jelas bahwa ikhtilaf tanawwu’ semuanya benar.

Untuk ikhtilaf tanawwu’, tidak boleh seseorang menyalahkan salah satunya. Syaikhul Islam mengatakan, “ Hanya kejahilan dan kezhaliman yang menjadikan seseorang mencela salah satunya atau lebih mengutamakan salah satunya tanpa maksud yang baik, atau tanpa ilmu atau tanpa keduanya. [Lihat : Iqtidla As Shirat Al Mustaqiem, Ibnu Taimiyah rahimahullah juz 1 hal. 132-137, terdapat penjelasan mengenai ikhtilaf tadladl dan ikhtilaf tanawwu’]
Alloh berfirman:

إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

"Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh" [al-Ahzab : 72]

Allah melarang kita berselisih dan mencela perselisihan dalam ayat-ayatNya diantaranya :

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar" [al-Anfal : 46]

Begitu pula Rasulullah shallallahu alaihi wasallam amat membenci perselisihan. Apabila beliau mendengar ada di antara sahabatnya yang berselisih, maka beliau marah dan segera menyelesaikannya sehingga mereka kembali sadar akan kekeliruannya, lalu berdamai dan bersatu dalam kebenaran.

Meskipun Allah menghendaki agar kita tidak berselisih (iradah syar’iyah) tetapi Allah juga menghendaki (iradah kauniyah) sesuai dengan hikmah-Nya bahwa perselisihan itu akan selalu ada dan tidak bisa dihilangkan.

Allah berfirman :

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً ۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ ١١:١١٨
إِلَّا مَن رَّحِمَ رَبُّكَ ۚ وَلِذَٰلِكَ خَلَقَهُمْ ۗ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ ١١:١١٩

"Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat, Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya". [Hud : 118-119]

Memang di antara perselisihan antara ulama ada hal-hal yang sudah dipastikan mana yang benar dan mana yang salah. Tetapi banyak sekali di antara perselisihan tersebut terjadi dalam perkara-perkara ijtihadiyah yang dapat diupayakan kesepakatan. Sudahkah kita berusaha semaksimal mungkin untuk mencari kata sepakat ? Sudahkah kita berusaha menghilangkan kebodohan dari masyarakat kita berupa ta’ashub atau fanatik, baik fanatik hizbi ( kelompok ) ataupun madzhab, juga kultus individu ? Ataukah kita pura-pura bodoh akan kebenaran yang ada di depan mata kita lalu menolaknya karena mengikuti hawa nafsu atau berdalih dengan ucapan, ” Kebenaran itu banyak !”

IJTIHAD SEORANG ULAMA MUNGKIN BENAR DAN MUNGKIN SALAH
Siapa saja yang mengakui bahwa semua pendapat para ulama mujtahid dalam suatu masalah adalah benar dan setiap mujtahid itu benar, maka berarti dia telah mengucapkan kaidah yang tidak memiliki dalil, baik dari Al-Qur’an , As-Sunnah atau ijma’ para sahabat serta tidak dapat diterima oleh akal sehat.

Rasulullah shallalahu alaihi wasallam bersabda :
” Apabila seorang hakim memberi keputusan, lalu ia berijtihad, kemudian ia benar maka baginya dua pahala, dan jika ia memberi keputusan, lalu ia berijtihad kemudian salah, maka baginya satu pahala.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Syaikhul Islam menjelaskan bahwa tidaklah setiap orang yang berijtihad dapat mencapai kebenaran. Tetapi selama ia berdalil dan bertaqwa kepada Allah sesuai dengan kesanggupannya, maka itulah yang Allah bebankan kepadanya. Allah tidak akan menghulumnya apabila ia salah. Ancaman dan hukuman itu baru berlaku bagi orang yang meninggalkan perintah dan melanggar larangan setelah tegak hujjah kepadanya. [Lihat Majmu Fatawa juz 19, hal.213,216,217,227 ) Ijtihad yang salah ini tidak boleh diikuti apabila kita mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. ( Iqtidla’As Shiratal Mustaqim, hal. 268 ) Karena kita dituntut untuk mengikuti dalil, bukan mengikuti manusia.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, ” Tidak boleh bagi seseorang untuk berhujjah dengan ucapan seseorang dalam masalah perselisihan, karena sesungguhnya hujjah adalah nash dan ijma’ serta dalil yang diambil istimbathnya dari hal tersebut. Pengutamaannya ditentukan dengan dalil-dalil syari’at, bukan dengan sebagian ucapan ulama. Karena sesungguhnya ucapan para ulama itu baru menjadi hujjah disebabkan adanya dalil-dalil syari’at. Ucapan para ulama tersebut tidak dapat mengalahkan dalil-dalil syari’at... [Majmu Fatawa, juz 26 hal. 202]

Perlu diingat bahwa kita wajib menghormati dan mencintai para ulama ( Raf’ul Malam ’an Aimmatil A’lam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ) meskipun ijtihad mereka ada yang salah, atau di antara ijtihad mereka ada yang kita yakini sebagai perbuatan bid’ah ( setelah diadakan penelitian berdasarkan kaidah-kaidah ilmiyyah dan kriteria-kriteria secara ilmu ushul). Tetapi tidak boleh kita menuduhnya sebagai ahli bid’ah kecuali setelah jelas bagi kita bahwa hujjah telah ditegakkan atas mereka dan mereka tetap megikuti hawa nafsunya.

Syaikh Ali Hasan berkata, ”Sedangkan orang yang melakukan bid’ah, bisa jadi dia seorang mujtahid -sebagaimana telah dibicarakan-, maka orang ynag berijtihad seperti ini, meskipun salah tidak bisa dikatakan sebagai ahli bid’ah. Sebaliknya bisa jadi ia jahil ( bodoh ). Maka ia tidak bisa dikatakan ahli bid’ah karena kejahilannya. Meskipun demikian ia tetap berdosa dikarenakan kesalahan dia meninggalkan kewajiban menuntut ilmu, kecuali apabila Allah menghendaki. Dan bisa jadi juga ada sebab-sebab lain yang menghalangi seseorang yang melakukan bid’ah untuk dikatakan sebagai ahli bid’ah. Berbeda dengan orang yang terus menerus melakukan bid’ahnya setelah nampak kebenaran olehnya, karena mengikuti nenek moyang, dan adat istiadatnya. Maka orang seperti ini pantas dan tepat untuk mendapatkan predikat sebagai ahli bid’ah, dikarenakan penolakannya dan pengingkarannya. [Lihat Ilmu Ushulil Bida’, hal 209-210.]

Allah berfirman:

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ٤:١١٥

”Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu[*]dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali ” [an-Nisa : 115]

[*] Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.

KEBENARAN ITU SATU
Berikut ini akan saya nukilkan tulisan dari para ulama dahulu dan sekarang. Semoga Allah memberi manfaat bagi kita semua.

Ibnul Qasim berkata, ”Saya telah mendengar dari Malik dan Laits tentang perselisihan para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tidaklah seperti yang dikatakan orang-orang, ’Dalam perselisihan tersebut terdapat kelapangan.’ Tidak demikian yang ada adalah salah dan benar. [Jami’u Bayanil ’Ilmi juz 2 hal. 100. Lihat Sifat Shalat Nabi shallallahu alaihi wasallam hal. 61]

Asyhab ,mengatakan bahwa Malik pernah ditanya tentang orang yang mengambil sebuah hadist dari seorang yang tsiqat ( terpercaya ) dan orang itu mendapatkannya dari sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, ” Apakah engkau berpendapat bahwa dalam perselisihan terdapat kelapangan ?” Imam Malik menjawab, ” Tidak demi Allah, sampai ia mendapatkan bahwa kebenaran itu satu. Adakah dua perkataan yang bertentangan keduanya benar ? yang hak dan yang benar itu hanya ada satu.” [Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.100. Lihat Sifat Shalat Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam ha. 61]

Imam Al Muzani, sahabat Imam Syafi’i berkata : Para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam telah berselisih. Lalu sebagian mereka menyalahkan yang lain dan mereka saling memperhatikan tiap perkataan di antara mereka dan mengomentarinya. Jika sekiranya mereka berpendapat semua perkataan mereka itu benar, tentu mereka tidak akan melakukan demikian. Pernah Umar bin Khottob marah karena terjadi perselisihan antara Ubay bin Ka’ab dengan Ibnu Mas’ud mengenai hukum salat dengan satu pakaian. Ubay mengatakan bahwa salat dengan satu pakaian itu baik dan indah. Sedangkan Ibnu Mas’ud megatakan bahwa hal itu dilakukan karena sedikit pakaian. Kemudian Umar keluar dengan marah dan berkata, ”Dua orang sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam telah berselisih, yaitu diantara orang-orang yang memperhatikan Rasul dan mengambil pendapat beliau. Ubay benar dan Ibnu Mas’ud tidak kurang ( berusaha ). Akan tetapi aku tidak mau mendengar setelah ini ada orang-orang yang berselisih tentang hal itu. Jika masih ada tentu aku akan melakukan ini dan itu. ” [Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.103. Lihat Sifat Shalat Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam ha. 62]

Imam Al Muzani mengatakan lagi : Katakanlah kepada orang-orang yang membolehkan perselisihan dan berpendapat mengenai dua orang alim yang berijtihad dalam suatu masalah. Salah seorang di antara mereka menyatakan halal dan yang lainnya menyatakan haram. Dikatakan bahwa ijtihad keduanya benar semua, ” Apakah engkau mengatakan ini dengan dasar ushul ( pokok ) atau qiyas ?” Apabila ia mengatakan dengan dasar pokok, maka katakanlah kepadanya, ” Bagaimana mungkin dengan dasar pokok padahal Al-Qur’an menolak perselisihan ?” Dan apabila ia mengatakan dengan dasar qiyas, maka katakanlah, ” Meangapa engkau membolehkan padahal pokok telah menolak perselisihan.” Hal ini tidak bisa diterima oleh orang yang berakal, lebih-lebih seorang alim. ” [Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.109. Lihat Sifat Shalat Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam ha. 62]

Ibnu Abdil Bar (wafat 463 H) berkata : Sekiranya kebenaran itu terdapat di dalam dua hal yang bertentangan, maka tidak mungkin orang-orang salaf akan saling menyalahkan dalam ijtihad, keputusan dan fatwa-fatwa mereka. Dan pemikiran juga enggan menerima ada satu pendapat dan pendapat lain yang bertentangan dikatakan benar seluruhnya. Tepatlah apa yang dikatakan di dalam syair :

"Penetapan dua hal yang bertentangan secara bersamaan dalam satu hal Adalah seburuk-buruk kemustahilan yang datang".
[Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.108. Lihat Sifat Shalat Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam ha. 63]

Syeikh Ali Hasan berkata, ”Maka perbedaan pendapat dalam perkara apapun, apakah dia itu sunnah atau bid’ah, mungkar atau bukan, tidaklah menjadikan seorang juru dakwah untuk diam dari menyampaikan kebenaran. Yaitu dengan mengenal bid’ah sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah disebutkan sebelum ini dan menjelaskan kebenaran di dalamnya. Apabila setelah pembahasan, penelitian, dan pengkajian yang mendalam diperoleh hasil bahwa hal itu adalah bid’ah, maka wajib untuk menamapakkan kebenaran dan menyingkap syubhat-syubhat orang yang menyalahinya. [Ilmu Ushulil Bida’, hal 192]

Syeikh Ali Hasan menukil pula ucapan Imam Al-Khathabi dalam bukunya A’lamus Sunan bi Syarh Shahih Al Bukhary juz 3/2091-2092, ” Seorang berkata, ’Sesungguhnya manusia ketika mereka berbeda pendapat dalam hal minuman, mereka bersepakat atas haramnya khamr dan anggur dan berbeda pendapat menegenai selainnya. Maka kita harus mengikuti apa yang mereka sepakati tentang haramnya dan membolehkan apa-apa yang selainnya (yang masih diperselisihkan, pent.).’ Hal ini merupakan kesalahan fatal, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan ornag –orang yang berselisih agar mereka mengembalikan kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ٤:٥٩

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya" [[an Nisa : 59]

Imam As Syatibi setelah menukil ringkasan ucapan Al Khathabi dalam bukunya Al Muwafaqat 4/14 kenudian beliau mengomentarinya, ”Orang yang berkata tadi telah mengikuti syahwatnya dan menjadikan pendapat yang sesuai ( dengan dirinya ) sebagai hujjah. Dia telah mengambil pendapat tadi sebagai jalan untuk mengikuti hawa nafsunya, bukan jalan menuju taqwanya. Yang demikian itu jauh sekali untuk dikatakan melaksanakan perintah Allah dan lebih tepat untuk dikatakan sebagai orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya...” [Ilmu Ushulil Bida’, hal. 194]

BEBERAPA ALASAN DAN JAWABANNYA
Ada beberapa alasan yang sering dijadikan pegangan oleh sebagian orang yang tidak sependapat dengan kaidah ” kebenaran itu satu ”.

Alasan Pertama : Perbedaan Pendapat Umatku Adalah Rahmat.

Ucapan ini sering dibawakan oleh sebagian orang dan mereka mengatakannya sebagai sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam.

Jawabannya : Jika engkau cinta kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, tentu engkau tidak akan berdusta atas namanya. Apalagi beliau telah bersabda : ” Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah ia menempatkan tempat duduknya dari api neraka. [Hadist Mutawatir, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lainnya. Lihat Juga Fathul Bari juz 1, hal. 271, hadist no. 107, Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan masalah ini dari hal. 270-275]

Seorang yang takut terjerumus kepada perbuatan dusta atas nama Nabinya maka ia akan hati-hati dalam membawakan hadist, dengan mencari keterangan terlebih dahulu dari ulama hadist. Apabila ulama hadist pun berbeda pendapat tentang ke-shahih-an suatu hadist, maka ia berusaha sesuai dengan kemampunnya untuk meneliti dan memilih mana di antara mereka yang alasannya lebih kuat, bukan memilih pendapat yang sesuai dengan hawa nafsunya. Apalagi kalau para ulama hadist telah sepakat akan kelemahan atau kepalsuan suatu hadist maka kita harus mengikuti kesepakatan mereka.

Di bawah ini saya nukilkan tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah dalam Silsilah Al Ahadist Adl Dla’ifah mengenai hadist :

"Perbedaan pendapat ummatku adalah rahmat."

Hadist ini tidak ada asalnya. Para muhaddist sudah berusaha keras untuk mendapatkan sanad hadist ini tetapi mereka tidak mendapatkannya. Sampai beliau berkata, ” Al Munawi menukil dari as Subki bahwa ia berkata, ’Hadist ini tidak dikenal oleh para muhaddist dan saya belum mendapatkan baik dalam sanad shahih, dla’if atau maudlu. ’ Syaikh Zakaria Al Anshari menyetujui dalam ta’liq atas tafsir Al Baidawi 2/92/Qaaf ( masih dalam manuskrip, pent.)”

Makna hadist ini pun diingkari oleh para ulama peneliti. Al Allamah Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya Al Ihkam fi Ushulil Ahkam juz V hal. 64 setelah beliau mengisyaratkan bahwasanya ucapan itu bukan hadist, ”ini adalah ucapan yang paling rusak. Karena kalau perselisihan itu rahmat, tentu kesepakatan itu sesuatu yang dibenci dan tidak ada seorang muslim pun yang mengatakan demikian. Yang ada hanya kesepakatan atau perselisihan, rahmat atau dibenci. ” Di tempat lain beliau mengatakan, ” Batil atau Dusta. ”

Sesungguhnya di antara sebagian dampak buruk dari hadist ini bahwa banyak dari kaum muslimin menyetujui perbedaan pendapat yang sangat tajam di antara madzhab yang empat. Mereka tidak berupaya sama sekali untuk kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih sebagaimana hal ini telah diperintahkan oleh imam-imam mereka sendiri semoga Allah meridhai mereka. Bahkan mereka berpendapat bahwa madzhab-madzhab imam radliallahu anhum tersebut sebagai syari’at-syari’at yang bermacam-macam. Mereka mengatakan demikian, padahal mereka tahu bahwa pertentangan dan kontradiksi itu tidak mungkin dipadukan kecuali dengan menolak sebagian yang bertentangan dengan dalil dan menerima yang lain sesuai dengan dalil. Tetapi hal ini tidak mereka lakukan! Dengan ini mereka telah menisbatkan kepada syari’at akan adanya kontradiksi. Ini merupakan bukti satu-satunya bahwa pertentangan bukanlah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala apabila mereka memperhatikan firman Allah :

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا ٤:٨٢

"Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya" [an Nisa : 82]

Ayat di atas menyatakan dengan tegas bahwa pertentangan bukan dari Allah. Maka tidaklah benar menjadikan pertentangan sebagai syari’at yang diikuti atau rahmat yang turun.

Disebabkan hadist ( yang tidak ada asalnya) ini dan yang lainnya, kebanyakan kaum muslimin setelah imam yang empat terus menerus sampai hari ini bertentangan dalam banyak masalah, baik masalah aqidah maupun muamalah. Seandainya mereka menganggap bahwa pertentangan itu buruk, -sebagaimana ucapan Ibnu Mas’ud ( HR. Abu Dawud no. 1960 dengan sanad shahih ) dan selainnya radliallahu anhum dan begitu juga banyak terdapat dalam Al Qur’an dan hadist-hadist nabi Shallallahu alaihi wasallam yang menunjukkan betapa buruknya pertentangan itu – tentu mereka akan bersegera untuk mencapai kata sepakat. Hal ini mungkin terjadi dalam banyak permasalahan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan berupa dalil-dalil untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang haq dan mana yang batil. Setelah itu baru bertoleransi sebagian terhadap yang lainnya dalam hal-hal yang masih diperselisihkan. ( maksudnya : setelah berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan kebenaran dan tidak didapat kepastian pendapat mana yang benar dalam masalah-masalah yang diperselisihkan. Sedangkan ucapan yang sebagian mereka lontarkan secara mutlak, ’kami bekerjasama dalam hal yang kami sepakati dan saling bertoleransi dalam hal yang kami perselisihkan.” Maka ini adalah kesalahan yang nyata sekali. [Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid dalam Ilmu Ushulil Bida’]

Akan tetapi untuk apa berusaha mencari kata sepakat kalau mereka berpendapat ”ikhtilaf itu rahmat” dan madzhab yang berbeda-beda itu sebagai syari’at yang bermacam-macam ? dan kesimpulannya: Sesungguhnya ikhtilaf itu tercela dalam syari’at. Maka wajib berusaha untuk menuntaskan darinya sebisa mungkin, dikarenakan pertentangan itu merupakan salah satu sebab kelemahan ummat. Allah berfirman:

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ ٨:٤٦

"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." [al Anfal : 46]

Sedangkan sikap ridla dengan pertentangan dan menamakannya sebagai ”rahmah”, maka hal ini menyalahi ayat-ayat Al Qur’an yang tegas-tegas mencelanya. Ia tidak bersandar kecuali kepada hadist yang tidak ada asalnya dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.

Sampai disini mungkin ada pertanyaan, yaitu : Kadang terjadi pertentangan di antara para sahabat. Padahal mereka seutama-utama manusia, apakah celaan di atas mengenai mereka? Ibnu hazm rahimahullah menjawabnya dalam Al Ihkam fi Ushulil Ahkam juz V/67-68,ia berkata :

Sama sekali tidak. Celaan di atas tidaklah mengenai sahabat sedikitpun, dikarenakan mereka telah berjuang keras mencari jalan Allah dan pendapat yang benar. Maka jika di antara mereka ada yang salah, mereka mendapat satu pahala dikarenakan niatnya yang baik dalam menghendaki kebenaran. Terhapuslah dosa mereka dalam kesalahannya, karena mereka tidak bermaksud dan tidak sengaja serta tidak meremehkan dalam mencari kebenaran. Sedangkan yang benar diantara mereka mendapatkan dua pahala. Begitu pula untuk setiap muslim sampai hari kiamat dalam hal-hal yang tidak diketahui dan belum sampai kepadanya hujjah (dalil ).

Celaan dan ancaman tesebut, sebagaimana tertuang dalam nash, berlaku atas orang yang meninggalkan kewajiban berpegang pada tali Allah -Al Qur’an dan As Sunnah- setelah datang nash kepadanya dan setelah tegak hujjah atasnya. Kemudian setelah itu ia tetap bergantung kepada fulan dan fulan, taklid, sengaja untuk berselisih, mengajak kepada fanatik dan kebanggaan jahiliyah, bermaksud untuk berpecah belah, berupaya dalam pengakuannya untuk selalu mengembalikan (urusannya) kepada Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih dengan keinginannya saja. Tetapi jika berselisih ( antara nafsu dan nash), maka ia bergantung pada kejahilannya, meninggalkan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Mereka itulah orang-orangyang selalu berselisih dan orang-orang yang tercela.

Tingkatan yang lain adalah mereka yang mempunyai iman yang tipis dan kurang ketaqwaannya. Mereka mencari perkara yang cocok dengan hawa nafsu mereka dari tiap pendapat yang ada. Mereka mengambil rukhsah ( keringanan ) dalam ucapan setiap ulama, taklid kepadanya. Bukan mencari apa-apa yang diwajibkan oleh nash-nash dari Allah dan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.

Di akhir ucapannya, Ibnu Hazm mengisyaratkan tentang talfiq yang dikenal oleh para ahli fiqh, yaitu mengambil pendapat seorang alim tanpa dalil, melainkan mengikuti hawa nafsu atau rukhsah. Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya. Tetapi yang benar adalah haram disebabkan beberapa alasan tertentu. Namun disini bukan tempatnya untuk menjelaskan permasalahan itu.

Mereka yang membolehkan talfiq ini mengambil dalil dari hadist yang tidak ada asalnya ini dan dengan alasan hadist ini pula seorang berkata. ” Barang siapa bertaqlid kepada seorang alim, ia akan menemui Allah dalam keadaan selamat.”

Semua ini merupakan sebagian dampak buruk dari hadist-hadist dla’if ( termasuk di dalamnya hadist maudlu’, pent.). ( Lihat Silsilah Al Ahadist Dla’ifah juz 1, hadist no. 57, hal. 141-144, Syeikh Albani ) Maka berjhati-hatilah darinya apabila engkau mengharapkan keselamatan, Allah berfirman dalam surat Asy Syu’aara 88-89 :

يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ ٢٦:٨٨

"(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna"

إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ ٢٦:٨٩

"Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih".

Syeikh Al Albani menjelaskan pula dalam bukunya Shifat Shalat Nabi Shallallahu alaihi wasallam mengenai perbedaan pendapat para sahabat dengan ikhtilaf di kalangan para sahabat dengan ikhtilaf di antara muqallidin ( orang-orang yang taqlid), dia berkata :

Para sahabat berbeda pendapat sebagai suatu keterpaksaan, tetapi mereka mengingkari perselisihan dan menghindarinya ketika mereka mendapatkan jalan keluarnya. Sedangkan muqallidin tidak sepakat dan tidak berusaha untuk sepakat. Padahal besar kemungkinan kata sepakat itu bisa dicapai dalam sebagian besar permasalahan yang ada. Akan tetapi mereka menyetujui adanya perbedaan. Maka sungguh jauh berbeda antara keduanya. Ini dari segi sebab.

Adapun dari segi pengaruhnya, meskipun para sahabat berbeda pendapat dalam masalah-masalah furu’ tetapi mereka benar-benar menjaga persatuan. Sangat jauh sekali dari hal-hal yang memecah belah persatuan dan memporak-porandakan barisan. Umpamanya di antara mereka ada yang berpendapat bahwa membaca basmalah disyari’atkan dengan jahr (dikeraskan) dan yang lainnya berpendapat tidak jahr. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersentuhan dengan wanita membatalkan wudlu’, sebagian yang lain berpendapat tidak membatalkan wudlu’. Meskipun demikian mereka semua shalat di belakang imam yang satu. Tidak seorang pun di antara mereka menolak shalat di belakang imam dikarenakan ada perbedaan madzhab...( Lihat Sifat Shalat Nabi Shallallahu alaihi wasallam, hal. 64-65 )

Alasan Kedua : Perbuatan Atau Ucapan Seorang Sahabat Adalah Hujjah.

Banyak hadist-hadist dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang dijadikan dalil oleh mereka. Salah satu di antaranya adalah hadist sahih, tetapi mereka salah dalam memahaminya. Sedangkan yang lainnya adalah hadist-hadist maudlu’.

Berikut ini adalah dalil yang mereka kemukakan, setelah itu saya nukilkan komentar ulama sebagai penjelasan atas dalil tersebut.

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda :
"Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun (yang memerintahkan kalian ) seorang budak dari Habasyah (Ethiopia). Sesungguhnya siapa yang hidup sesudahku di antara kalian, maka kelak ia akan menjumpai perselisihan yang banyak. Maka haruslah kalian mengikuti sunnahku (jalanku) dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan bimbingan. Berpegang teguhlah kalian dengannya, gigitlah dengan gigi geraham atas sunnah tersebut.." [HR. Abu Dawud no. 4607, At Tirmidzi (2/112-113), Ad Darimi (1/44-45), Ibnu Majah no. 43 dan 44, Ibnu Nashr dalam As Sunan hal. 21, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya ( 1/4/4 Al Farisi ) dan lain-lian, Syeikh Al Albani menyatakan : Hadist shahih. (Lihat Irwa’ul Ghalil juz 8 hal. 107, hadist no. 2455]

Syaikh Salim bin Ied Al Hilali berkata (Dar’ul Irtiyab hal.7) : "Ketahuilah saudara-saudaraku seiman, semoga Allah membimbingmu kepada kebenaran, bahwasanya ’athaf (kata penyambung ”dan” dalam sabdanya, ” Haruslah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin, pent.) tidaklah berarti bahwa sunnah khulafaur rasyidin diikuti tanpa mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Melainkan mereka senantiasa mengikuti sunnah beliau Shallallahu alaihi wasallam dalam setiap jejak langkahnya. Oleh karena itu mereka dijuluki sebagai orang yang mendapatkan petunjuk dan bimbingan. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menisbahkan sunnah kepada mereka dikarenakan merekalah yang paling berhak dan seutama-utama manusia yang memahami sunnah tersebut. Pemahaman seperti ini mutawatir dari ulama-ulama rabbani yang dirahmati ini, di antaranya adalah (keterangan para ulama tersebut dapat dilihat dalam Dar’ul Irtuyab hal. 17-25) :

1). Ibnu Hazm Al Andalusi rahimahullah dalam kitabnya Al Ihkam fi Ushulil Ahkam juz 6 hal 76-78.
2). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Majmu’ Al Fatawa juz 1 hal. 282.
3). Al Qari rahimahullah dalam Mirqatil Mafatih juz 1 hal. 199.
4). Al Allamah Al Mubarakfury rahimahullah dalam Syarah At Tirmidzi Tuhfatul Ahwadzi juz 3 hal. 50 dan juz 7 hal. 420. Begitu pula Imam Syaukani dan Imam As Shan’ani rahimahullah berkata demikian.

Berkenaan dengan masalah ini ada hadist maudlu’ yang berbunyi:
"Sahabat-sahabatku seperti bintang, dengan siapa saja kalian mengikuti di antara mereka, kalian mesti mendapat hidayah".

Berikut ini adalah petikan dari Syaikh Al Albani dalam Silsilah Hadist Ad Dha’ifah wal Maudu’ah juz 1 no. 58 dari halaman 144-145 : Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Abdil bar dalam Jami’ul Ilmi 2/91 dan oleh Ibnu Hazm dalam Al Ihkam 6/82 (kemudian beliau menjelaskan tentang sebab maudlu’-nya hadist ini, pent. ). Sedangkan orang yang men-shahih-kan hadist ini bersandar dengan ucapan As Sya’rani dalam Al Mizan 1/28, ” Hadist ini meskipun ada pembicaraan (kelemahan) menurut para muhaddist, tetapi hadist ini shahih menurut ahli kasyf.” Ucapan ini bathil dan sepantasnya tidak ditengok, karena cara men-shahih-kan hadist dengan jalan al kasyf adalah bid’ah sufi yang amat dibenci.

Kemudian Syaikh Al Albani menjelaskan bahwa cara al kasyf itu seandainya dibolehkan itupun sebatas sebagai pendapat yang bisa salah dan bisa benar, belum lagi kalau hawa nafsu yang masuk, sehingga banyak hadist-hadist palsu dan yang tidak ada asalnya menjadi shahih menurut keinginan hawa nafsu mereka.

Adapun hadist-hadist maudlu’ yang semakna dengan hadist di atas terdapat dalam Silsilah Dla’ifah juz 1 no. 59-62 dan penjelasannya dari halaman 146-153.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menjelaskan tentang kaidah ” ucapan seorang sahabat bukan sebagai hujjah ” dalam Majmu’ Fatawa.

Beliau memberikan contoh yang banyak sekali mengenai pendapat sahabat yang bertentangan dengan nash-nash yang jelas. Kemudian beliau juga menjelaskan bahwa ’ucapan seorang yang sahabat sebagai hujjah” dapat berlaku apabila memenuhi dua persyaratan, yaitu :

Pertama : Tidak ada nash yang bertentangan dengan ucapan tersebut.
Kedua : Tidak ada sahabat lain yang mengingkarinya. [Majmu’ Fatawa juz 1 hal. 282-284]

Alasan Ketiga : Apa Yang Dinisbahkan Kepada Imam Malik Yang Berkata, "Masing-masing mereka adalah benar".

Syeikh Al Albani rahimahullah berkata : Apabila seseorang berkata, "Apa yang engkau katakan tentang perkataan Imam Malik bahwa kebenaran itu satu, tidak berbilang, adalah bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam kitab Al Madkhal Al Fikhi tulisan Al Ustadz Az Zarqa ( 1/89 ), Abu Ja’far Al Manshur dan Ar Rasyid menginginkan memilih madzhab Imam Malik dan kitabnya Al Muwaththa’ sebagai undang-undang peradilan bagi Daulah Abbasiyah. Kemudian Imam Malik mencegah mereka berdua melakukan hal yang demikian. Beliau berkata,’Sesungguhnya para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ini telah berselisih di dalam masalah furu’ dan mereka tersebar di berbagai negeri dan masing-masing mereka adalah benar."

Saya (Syaikh Al Albani) mengatakan : Kisah ini telah dikenal dan masyhur dari Imam Malik rahimahullah. Tetapi kata-kata terakhir yang berbunyi, ” Masing-masing mereka adalah benar, ” tidak saya ketahui asalnya berdasarkan penelitian saya dari riwayat-riwayat dan sumber-sumber yang saya dapatkan. (Syaikh Al Albani menulis dalam catatan kakinya, ” Lihat Al Intiqa’ oleh Ibnu Asakir (6-7), dan Tadzkiratul Huffadz oleh Imam Adz Dzahabi 1/195. ”) Kecuali satu riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah 6/332 dengan isnad yang terdapat didalamnya Al Miqdam bin Daud. Ia adalah salah seorang yang disebutkan oleh Adz Dzahabi dalam kitabnya Ad Dlu’afa. Itu pun dengan lafazh, ” Dan masing–masing menurut dirinya adalah benar. ” Ini menunjukkan bahwa riwayat yang terdapat dalam Al Madkhal telah mengalami perubahan lafazh.

Bagaimana tidak, padahal ini bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh orang-orang tsiqat ( terpercaya ) dari Imam Malik bahwa kebenaran itu satu tidak berbilang, sebagaimana telah diterangkan terdahulu. Hal ini juga dipegang oleh setiap Imam dari para sahabat, tabi’in serta imam-imam mujtahid yang empat dan yang lainnya. [Lihat Sifat Shalat Nabi Shallallahu alaihi wasallam, hal. 62-63]

PENUTUP.
Setelah kita membaca penjelasan mengenai kaidah ” kebenaran itu hanya satu "Timbul pertanyaan, Bagaimana kita dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah? Dan bagaimana kita dapat mengamalkan kebenaran tersebut ?"

Jawabannya secara ringkas adalah :

Pertama : Ikhlas di dalam mencari kebenaran. Dengan modal ikhlash maka syaithan tidak berdaya dalam upayanya menyesatkan manusia.

Kedua : Ilmu yang benar.
Imam Syafi’i rahimahullah ( wafat tahun 204 H ) berkata ( lihat Diwan Al Imam As Syafi’i hal. 117. ) ” Seluruh ilmu selain Al Qur’an adalah melalaikan kecuali hadist dan ilmu fiqh dalam dien ini. Ilmu itu adalah yang ada padanya ucapan haddatsana sedangkan selain itu merupakan bisikan syaithan. ”

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah berkata dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in, ’ Ilmu itu adalah firman Allah, sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan Ucapan para sahabat.”

Imam Al Auzai rahimahullah ( wafat 158 H ) berkata : ” Haruslah engkau mengikuti jejak orang-orang salaf meskipun manusia menentangmu. Dan hati-hatilah engkau dari pemikiran-pemikiran manusia meskipun mereka menghiasinya dengan kata-kata yang manis kepadamu. ( Atsar riwayat Al Imam Al Khatib Al Bagdhadi dalam kitabnya Syarafu Ashabil Hadist hal. 7. Syaikh Ali Hasan mengatakan, ” Dengan sanad yang shahih” [Lihat ili Ushulil Bida’, hal 277]

Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam muqaddimah tafsirnya, ” Maka yang semestinya dilakukan dalam menceritakan perbedaan pendapat, yaitu engkau menguasai pendapat-pendapat yang ada. Lalu engkau sebutkan yang benar dan engkau salahkan yang salah. Lalu engkau sebutkan faedah khilaf dan buahnya agar perselisihan dan perbedaan pendapat itu tidak berkepanjangan dalam hal-hal yang tidak bermanfaat, sehingga engkau sibuk dengan hal tadi dan menyebabkan terbengkalainya mana yang lebih penting dari yang penting. Sedangkan orang-orang yang menceritakan perbedaan pendapat dalam satu masalah padahal ia belum menguasai pendapat-pendapat ulama yang ada, maka hal itu kurang, karena boleh jadi pendapat yang nanti ia tinggalkan adalah pendapat yang benar. Atau seseorang yang hanya menceritakan perbedaan pendapat yang ada, kemudian dibiarkannya saja tanpa menyebutkan mana yang benar, maka hal itu pun kurang. Begitu pula orang yang membenarkan pendapat yang salah dengan sengaja, berarti ia telah berdusta. Apabila hal itu dilakukan dengan tidak sengaja yaitu karena kejahilan maka dia telah berbuat kesalahan... [Tafsir Ibnu Katsir juz 1, bagian Muqaddimah hal. 5]

Untuk dapat memiliki ilmu yang dalam haruslah sabar karena dibutuhkan ilmu yang dalam haruslah sabar karena dibutuhkan waktu yang lama. Imam Syafi’i rahimahullah berkata :
"Saudaraku, engkau akan tidak memperoleh ilmu kecuali memiliki enam perkara. Saya akan beritahu kepadamu keenamnya dengan jelas, yaitu : kecerdasan, perhatian, kesungguhan dan kecukupan ( materi ) dan didampingi oleh guru sera menempuh waktu yang lama".

Ketiga : Mengendalikan hawa nafsu agar tunduk kepada kebenaran
Hal ini sangat sulit, terlebih bagi jiwa manusia yang selalu mengajak kepada keburukan. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan surga bagi orang yang takut kepada-Nya dan menahan hawa nafsunya. Allah berfirman :

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ ٧٩:٤٠
فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ ٧٩:٤١

"Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsuny. Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya)". [an Nazi’at : 40-41]

Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar itu benar dan berilah kami kemampuan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada kami bahwa yang bathil itu bathil dan berilah kami kemampuan untuk menjauhinya.

Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam , keluarga dan para sahabatnya. Amin.

Oleh  : Ustadz Fariq Qasim Anuz

Tujuan Hidup Seorang Muslim


Setiap orang yang mendalami Al-Qur'an dan mempelajari Sunnah tentu mengetahui bahwa puncak tujuan dan sasaran yang dilakukan orang Muslim yang diwujudkan pada dirinya dan di antara manusia ialah ibadah kepada Allah semata.

Tidak ada jalan untuk membebaskan ibadah ini dari setiap aib yang mengotorinya kecuali dengan mengetahui benar-benar tauhidullah.

Da'i yang menyadari hal ini tentu akan menghadapi kesulitan yang besar dalam mengaplikasikannya. Tetapi toh kesulitan ini tidak membuatnya surut ke belakang. Sebab setiap saat dakwahnya menyerupai perkataan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:

"Artinya : Orang yang paling keras cobaannya adalah para nabi, kemudian yang paling menyerupai (mereka) lalu yang paling menyerupainya lagi." [1]

Bagaimana tidak, sedang dia selalu meniti jalan beliau, menyerupai sirah-nya dan mengikuti jalannya? Al-Amtsalu tsumma al-amtsalu adalah orang-orang shalih yang mengikuti jalan para nabi dalam berdakwah keapda Allah, menyeru kepada tauhidullah seperti yang mereka lakukan, memurnikan ibadah hanya kepada-Nya dan menyingkirkan syirik. Mereka mengahadapi gangguan dan cobaan seperti yang dihadapi para panutannya, yaitu nabi-nabi.

Oleh karena itu banyak para da'i yang menjauhi jalan yang sulit dan penuh rintangan ini. Sebab seoarang da'i yang meniti jalan itu akan menghadapi ayah, ibu, saudara, rekan-rekan, orang-orang yang dicintainya, dan bahkan dia harus menghadapi masyarakat yang merintangi, memusuhi dan menyakitinya.

Lebih baik mereka menyingkir ke sisi-sisi Islam yang sudah mapan, yang tidak dimusuhi orang yang beriman kepada Allah. Di dalam sisi-sisi ini mereka tidak akan menghadapi kesulitan, kekerasan, ejekan, dan gangguan, khususnya di berbagai masyarakat Islam. Biasanya mayoritas umat justru mau memandang da'i seperti ini, menyanjung dan memuliakannya dan tidak mengejek atau pun mengganggunya, kecuali jika mereka menentang para penguasa dan mengancam kedudukan mereka. Kalau seperti ini keadaannya, tentu para penguasa ini akan menumpas mereka dengan kekerasan, sebagaiman menumpas partai politik yang hendak mengincar kursi kekuasaannya. Sebab, para penguasa dalam masalah ini tidak bisa diajak kompromi, baik mereka itu kerabat atau pun rekan, baik orang Muslim maupun orang kafir.

Bagaimanapun juga kami merasa perlu mengatakan para da'i, bahwa meskipun mereka tetap harus menyaringkan suaranya atas nama Islam, toh mereka tetap harus mengasihi dirinya sendiri. Karena mereka keluar dari manhaj Allah dan jalan-Nya yang lurus dan jelas, yang pernah dilalui para nabi dan para pengikutnya dalam berdakwah kepada tauhidullah dan memurnikan agama hanya bagi Allah semata. Apa pun usaha yang mereka lakukan untuk kepentingan dakwah, toh mereka tetap harus memikirkan sarananya sebelum tujuannya. Sebab berapa banyak sarana yang remeh justru membahayakan tujuan yang hendak dicapai dan justru menjadi pertimbangan yang besar.

Bahkan banyak da'i yang memaksakan cara yang mereka ciptakan sendiri dan tidak mau mengikuti manhaj para nabi dalam berdakwah kepada tauhidullah di bawah slogan-slogan yang serba gemerlap, tapi akhirnya hanya memperdayai orang-orang bodoh, sehingga mereka menganggapnya sebagai manhaj para nabi.

Karena Islam mempunyai beberapa cabang dan pembagian, maka harus ada penitikberatan pada masalah yang paling penting, lalu disusul dengan yang penting lainnya. Pertama kali dakwah harus diprioritaskan pada penataan akidah. Caranya menyuruh memurnikan ibadah bagi Allah semata dan melarang menyekutukan sesuatu kepada-Nya. Kemudian perintah mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, melaksanakan berbagai kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, seperti cara yang dilakukan semua para nabi. Firman Allah.

"Artinya : Dan, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): 'Sembahlah Allah (saja) dan juahilah thaghut'." [An-Nahl : 36]

"Artinya : Dan, Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada Ilah selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." [Al-Anbiya' : 25]

Dalam sirah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan cara yang diterapkan beliau terkandung keteladanan yang baik serta manhaj yang paling sempurna. Hingga beberapa tahun beliau hanya menyeru manusia kepada tauhid dan mencegah mereka dari syirik, sebelum menyuruh mendirikan sholat, melaksanakan zakat, puasa, haji, dan sebelum melarang mereka melakukan riba, zina, pencurian dan membunuh jiwa tanpa alasan yang benar.

Jadi dasar yang paling pokok adalah mewujudkan peribadatan bagi Allah semata, sebagaimana firman-Nya.

"Artinya : Dan, AKu tidak menciptakan manusia dan jin melainkan untuk menyembah-Ku." [Adz-Dzariat : 56]

Hal ini tidak bisa terjadi kecuali dengan mengenal tauhidullah, baik secara ilmu maupun praktik, realitas sehari-hari maupun jihad.

Anda bisa melihat berapa banyak para da'i Muslim dan jama'ah-jama'ah Islam yang menghabiskan umurnya dan menghabiskan energinya untuk menegakkan hukum Islam atau menuntut berdirinya negara Islam. Mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, mereka lupa atau pura-pura lupa bahwa tegaknya hukum Islam tidak akan terwujud dengan cara seperti itu. Tujuan itu tidak akan terealisir kecuali dengan suatu manhaj yang dilakukan secara perlahan-perlahan, memerlukan waktu yang panjang, dilandaskan kepada kaidah yang jelas, harus dimulai dari penanaman akidah dan menghidupkan pendidikan Islam serta menekankan masalah akhlak. Jalan yang perlahan-lahan dan panjang ini merupakan jalan yang paling dekat dan paling cepat yang bisa ditempuh. Sebab untuk bisa mengaplikasikan tatanan Islam dan hukum syariat Allah bukan merupakan tujuan yang bisa dilakukan secara spontan dan tergesa-gesa. Karena hal ini tidak mungkin diwujudkan kecuali dengan merombak masyarakat, atau adanya sekumpulan orang yang berkedudukan dan berbobot di tengah kehidupan manusia secara umum yang siap memberikan pemahaman akidah Islam yang benar, baru kemudian melangkah kepada pembentukan tatanan Islam, meskipun harus menghabiskan waktu yang lama[2]

Kesimpulannya, menerapkan hukum-hukum syariat, menegakkan hudud, mendirikan pemerintahan Islam, menjauhkan hal-hal yang diharamkan dan melaksanakan hal-hal yang diwajibkan, semuanya merupakan penyempurna tauhid dan penyertanya. Lalu bagaimana mungkin penyertanya mendapat prioritas utama, sedangkan pangkalnya diabaikan?

Kami melihat sepak terjang berbagai jama'ah yang menyalahi manhaj para rasul dalam berdakwah kepada Allah ini terjadi karena ketidaktahuan mereka terhadap manhaj ini. Padahal orang yang bodoh tidak pantas menjadi da'i. Sebab syarat terpenting dalam aktivitas dakwah adalah ilmu, sebagaimana yang difirmankan Allah tentang Nabi-Nya.

"Artinya : Katakanlah: 'Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik." [Yusuf : 108]

Jadi, keahlian seorang da'i yang paling penting adalah ilmu pengetahuan.

Kemudian kami melihat jama'ah-jama'ah yang menisbatkan diri kepada dakwah ini saling berbeda-beda. Setiap jama'ah menciptakan pola yang tidak sama dengan jama'ah lain dan meniti jalannya sendiri. Ini merupakan akibat dari tindakan yang menyalahi manhaj Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Karena manhaj beliau hanya satu, tidak terbagi-bagi dan tidak saling berselisihan. Firman Allah.

"Artinya : Katakanlah: 'Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku."

Orang-orang yang mengikuti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berada di atas jalan yang satu ini dan tidak saling berselisih. Tapi orang-orang yang tidak mengikuti beliau tentu saling berselisih. Firman Allah.

"Artinya : Dan, bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya." [Al-An'am : 153]

Jadi tauhid merupakan titik tolak dakwah kepada Allah dan tujuannya. Tidak ada gunanya dakwah kepada Allah kecuali dengan tauhid ini, meskipun ia ditempeli dengan merk Islam dan dinisbatkan kepadanya. Sebab semua rasul, terutama dakwah penutup mereka, Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dimulai dari tauhidullah dan sekaligus itu pula tujuan akhirnya. Setiap rasul pasti mengatakan untuk pertama kalinya seperti yang dijelaskan Allah.

"Artinya : Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah selain daripada-Nya." [Al-A'raaf :59 ][3]

Ini merupakan tujuan hidup orang Muslim yang paling tinggi, yang untuk itulah dia menghabiskan umurnya sambil mengusahakannya di tengah kehidupan manusia dan menguatkannya di antara mereka.

Khaliq yang telah menyediakan apa-apa yang menunjang kemaslahatan kehidupan dunianya, Dia pula yang menetapkan syariat agama bagi mereka dan menjaga kelangsungannya. Allah selalu menjaga Islam, karena Islam itulah tujuan dari diciptakannya dunia bagi manusia, lalu mereka diberi kewajiban untuk beribadah dan menguatkan tauhid, sebagaimana yang tercermin dalam firman Allah Ta'ala.

Oleh : Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsary

Mencari Kepastian Dari Allah Dan Rasul-Nya

Terkadang para da’i yang mengajak manusia kepada agama Allah mendapatkan pertanyaan-pertanyaan, yang isinya penjelasan mengenai sebab hukum-hukum syari’at. Tujuan dari pertanyaan-pertanyaan itu, ialah untuk menimbulkan keragu-raguan seorang muslim terhadap Rabbnya.maka sebagian para da’i pun cenderung untuk menjelaskan secara panjang lebar hikmah dibalik syari’at-Nya yang dikehendaki oleh (Allah) pembuat syari’at yang Maha Bijaksana.

Contohnya, sebagaimana pertanyaan berikut :

Pertanyaan : “Mengapa Allah mengharamkan daging babi?”
Jawaban : “Karena daging babi itu membahayakan kesehatan manusia. Di dalamnya terdapat cacing pita. Daginggnya juga mengandung sejumlah besar kolesterol yang membantu penebalan dinding pembuluh nadi. Di dalamnya juga terdapat hormon-hormon yang akan mematikan sifat cemburu pada manusia, sehingga dia akan menjadi dayyuts [2], dia ridha dengan perbuatan keji yang menimpa anggota keluarganya. Dan ini menjelaskan kepada kita, yang menjadi penyebab kerusakan akhlak yang besar yang dialami bangsa-bangsa barat sekarang ini, seperti tukar menukar isteri dan melakkan hubungan seks bebas. Demikian juga daging babi, menyebabkan sakit pada persendian-persendian dan penyakit reumatik, karena kandungan asam amino di dalam daging babi sangat tinggi”.

Syubhat (kerancuan/kekaburan) : “Jika ilmu modern telah mampu menghilangkan semua perkara yang anda sebutkan, apakah daging babi menjadi halal?”

Silahkan mengambil kejadian lainnya. Walaupun berbagai kejadian itu banyak, pita kaset panjang dan lembaran-lembaran penuh (dengan contoh seperti di atas), namun kejadian di atas telah cukup dengan isyarat jari …. bagi orang yang menderita buta warna dan tidak mampu membedakannya.

Pertanyaan : “Apakah hikmah wudhu?”
Jawaban : “Karena wudhu merupakan kebersihan”.

Syubhat : “Bangsa Arab, yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada mereka adalah orang-orang Badui. Mereka hidup di tengah padang pasir berdebu, maka disyariatkan wudhu untuk menghilangkan kotoran-kotoran. Namun sekarang kita hidup pada zaman kemakmuran dan kebersihan, maka cukup bagi orang sekarang mencuci wajahnya, kedua tangannya, dan kepalanya pada waktu pagi. Adapun berwudhu untuk setiap shalat jika seseorang berhadats (batal wudhu), maka ini perkara yang menyusahkan”.

Menghadapi banyak syubhat yang menghanyutkan ini, sebagian para da’i kebingungan, sebagian yang lain berguguran. Sedangkan orang yang diselamatkan Allah, (ia) selalu waspada terhadap tipu daya para musuh dakwah, walaupun tipu daya mereka benar-benar akan meluluhkan gunung-gunung. 
Jika anda ingin membungkam mereka berdasarkan argument dengan cepat, maka ketahuilah, bahwa seorang hamba, jika telah beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan hari akhir, maka kewajibannya ialah berserah diri terhadapa apa yang telah datang dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena hal itu merupakan kewajiban dari al-haq. Oleh karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertahun-tahun menancapkan iman di dalam jiwa para sahabat, dan menyiapkan jiwa-jiwa itu terhadap apa yang akan muncul dari beliau Shallallahu ‘laihi wa sallam yaitu berupa hukum-hukum. Yang hukum-hukum itu, tidak akan meninggalkan perkara besar maupun kecil bagi kehidupan pribadi dan jama’ah, kecuali akan mengaturnya.

Termasuk hikmah dan fiqih dakwah, yaitu, pertama kali anda mengajak manusia menuju keimanan kepada Allah, Rasul-Nya, dan kitab-Nya. Kemudian, hendaklah anda mengatakan kepadanya : “Allah telah berfirman”, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda”, “Para sahabat Rasulullah telah berkata”.

Dan termasuk kesalahan, yaitu anda menyebutkan sebab urusan aqidah (keyakinan) atau hukum syari’at, padahal anda telah beriman kepada Allah sebagai Rabb (Penguasa, Pendidik, Pembina), penciptaan dan perintah hanya milik Allah. Anda telah beriman Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan Allah, anda telah beriman Al-Qur’an sebagai kitab (suci-Nya), dan anda telah beriman, bahwa Islam sebagai agama(Nya). Jika anda telah beriman kepada itu semua dengan sifat tersebut, maka tidak ada keraguan bahwa Allah tidak akan mensyariatkan suatu syari’at, kecuali akan mewujudkan kebahagian bagi anda. Allah berfirman.

“Artinya : Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha halus lagi Maha Mengetahuui?” [Al-Mulk : 14]

Dengan demikian, maka keimanan yang muncul dari keimanan kepada Allah dan rasul-Nya, posisinya adalah mencari kepastian dari Allah dan RasulNya. Jika telah pasti bagi anda bahwa Allah telah mensyariatkannya lewat Rasul-Nya, (maka) kita mengatakan : “Sami’na wa atha na” (kami telah mendengar dan kami mentaati).

Allah berfirman.

“Artinya : Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang ditrunkan kepadanya dari Rabb-nya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan) : “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan merka mengatakan :”Kami dengar dan kami taat”. (Mereka berdo’a) : Ampunilah kami, ya Rabb kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali” [Al-Baqarah : 285]

“Artinya : Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan : “Kami mendengar,dan kami patuh”, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” [An-Nur ; 51]

Jika seseorang ragu-ragu terhadap suatu perkara yang dia diajak kepadanya, dia tidak mengetahuinya, maka kewajibannya ialah menanyakan dalil, tidak mencari ta’lil (sebab disyariatkan sesuatu tersebut). Karena hukum-hukum syari’at itu tidak perlu dicari sebabnya[3]. Mencari sebab terhadap hukum-hukum syari’at merupakan kesesatan yang tidak terasa dari arah yang tidak nampak. Pencarian sebab terhadap hukum-hukum syari’at itu, bisa jadi akan menjadikan apa yang dianggap baik oleh akal sebagai perkara yang halal, dan menjadikan apa yang dianggap buruk oleh akal sebagai kesesatan.

Imam ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu berkata : “Di antara tanda-tanda pengagungan terhadap perintah dan larangan (Allah) ialah, seseorang tidak membawa perintah kepada suatu ‘illat (sebab) yang akan melemahkan kepatuhan dan kepasrahan kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan dia pasrah kepada perintah dan hukum Allah Ta’ala, karena melaksanakan perintah-Nya, baik nampak atau tidak baginya hikmah syari’at dalam perintah dan larangan.

Jika nampak baginya hikmah syariat dalam perintah dan larangan, (maka) hal itu membawanya kepada menambah kepatuhan dengan pasrah dan berserah diri terhadap perintah Allah. Dan hal itu tidak akan membuatnya melepaskan diri dari perintah Allah dan meninggalkannya sama sekali. Sebagaimana telah terjadi pada orang-orang zindiq dari kalangan para faqir (orang-orang yang mengaku zuhud), yang menisbatkan diri kepada tashawwuf” [4]

Oleh karena itu, seorang muslim yang melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar wajib mengetahui dalil-dalil syariat, yang berupa Al-Kitab (Al-Qur’an), As-Sunnah, dan riwayat-riwayat Salafush Shalih. Dia tidak boleh berpegang kepada perkataan orang-orang yang menghiasi perkataan tersebut kepadanya dan hanya mementingkan menghafal matan-matan (teks-teks kitab) fikih yang kosong dari dalil, dan hanya mementingkan menghafal qasidah-qasidah (sya’ir-syair) aqidah yang membutuhkan kepada landasan dalil. [5]

Karena sesungguhnya jalan ini [6] merupakan jalan kaum mukminin, dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang-orang yang meneladani mereka dengan sebaik-baiknya sampai hari pembalasan.

“Artinya : Dari Mu’adzah, ia berkata : Aku bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu ‘anha, “Mengapa wanita haidh mengqadha puasa, namun tidak mengqadha shalat?” Dia menjawab : “Apakah engkau wanita kelompok Haruriyah?” [7] Mu’adzah menjawab, “Aku bukan Haruriyah, tetapi aku bertanya, “Aisyah berkata, “Kami dahulu mengalami haidh, lalu kami diperintahkan mengqadha puasa, namun tidak diperintahkan mengqadha shalat” [8]


Inilah perkataan orang-orang beriman dan sikap orang-orang yang sangat benar imannya. Yaitu menetapkan berita dari penghulu manusia (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Karena sesungguhnya, jika atsar (riwayat) telah datang, maka nazhar (pemikiran) pun batal. Dan di dalam hadits ini terdapat petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan manhaj (jalan Ahlus Sunnah), di antaranya.


[1]. Barangsiapa menyerupai firqah (kelompok) sesat pada satu prinsip dari prinsip-prinsipnya, dia dinisbatkan kepada firqah sesat itu. Aisyah Radhiyallahu ‘anha telah bertanya kepada Mu’adzah : “Apakah engkau wanita kelompok Haruriyah?”, karena pertanyaannya sama dengan sebagian prinsip-prinsip Khawarij. Maka bagaimana pendapat anda tentang orang yang menyamai firqah sesat dalam banyak prinsip? Tidaklah orang itu dinisbatkan kepada mereka?

[2]. Dalam membantah dan mematahkan syubhat-syubhat harus dengan Kitab Allah dan Sunnah RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[3]. Pemahaman para sahabat Radhiyallahu ‘anhu merupakan hujjah (argument) terhadap orang-orang setelah mereka. Oleh karena itu, Mu’adzah bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dan ketika Aisyah memberitakan kepadanya, diapun menerimanya, tidak melewati batas itu.

[4]. Manusia yang paling mengetahui kehendak Allah dan Rasul-Nya adalah para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga madzhab (jalan) Salaf adalah a’lam (lebih berilmu), ahkam (lebih bijaksana), dan aslam (lebih selamat).

[5]. Hukum-hukum syari’at tidak dijelaskan sebab-sebabnya, dan tidak qiyas dalam ibadah-ibadah, karena tonggaknya di atas tauqif (berhenti di atas dalil).

Oleh  : Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilali

Pengakuan Cinta Rasul

Seseorang tidaklah menjadi orang yang beriman sempurna, sampai dia mencintai Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih daripada seluruh manusia. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

"Tidaklah beriman –dengan keimanan yang sempurna- salah seorang dari kamu, sampai aku menjadi yang paling dia cintai daripada bapaknya, anaknya, dan seluruh manusia" [HR Bukhari, no. 15; Muslim, no. 44; dari Anas bin Malik].

Jika seseorang mencintai Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih daripada seluruh manusia, maka dia akan mengikuti petunjuk beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia akan lebih mengutamakan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam daripada petunjuk siapa saja dari kalangan manusia.

Al Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Ketahuilah, orang yang mencintai sesuatu, ia akan mengutamakannya dan mengutamakan kecocokan dengannya. Jika tidak, maka ia tidak benar di dalam kecintaannya, dan dia (hanya) sebagai orang yang mengaku-ngaku saja. Maka orang yang benar di dalam kecintaannya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah, orang yang nampak darinya tanda-tanda tersebut. Yang pertama dari tanda-tanda itu adalah, meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mengamalkan sunnahnya (ajarannya), mengikuti perkataan dan perbuatannya, dan beradab dengan adab-adabnya, pada waktu kesusahan dan kemudahan, pada waktu senang dan benci”.[1]

Imam Ibnu Rajab al Hambali rahimahullah berkata: “Kecintaan yang benar mengharuskannya mengikuti dan mencocoki di dalam kecintaan apa-apa yang dicintai dan kebencian di dalam apa-apa yang dibenci... Maka barangsiapa mencintai Allah dan RasulNya dengan kecintaan yang benar dari hatinya, hal itu menyebabkan dia mencintai -dengan hatinya- apa yang dicintai oleh Allah dan RasulNya, dan dia membenci apa yang dibenci oleh Allah dan RasulNya, ridha dengan apa yang diridhai oleh Allah dan RasulNya, murka terhadap yang dimurkai oleh Allah dan RasulNya, dan dia menunjukkan kecintaan dan kebenciannya ini dengan anggota badannya”.[2]

Begitulah seharusnya kecintaan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi, pada zaman ini dan sebelumnya, banyak pengakuan cinta sebagian orang kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang dalam mewujudkannya dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak diridhai oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Di antara perbuatan-perbuatan tersebut ialah sebagaimana berikut ini.

1. Peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Syaikh Shalih al Fauzan –hafizhahullah- menyatakan, di antara bid’ah yang mungkar yang diada-adakan oleh sebagian orang adalah perayaan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan Rabi’ul Awal. Di antara mereka ada yang sekedar berkumpul, mendengarkan bacaan kisah maulid, atau ceramah, atau qasidah. Di antara mereka ada yang membuat makanan tertentu dan manisan, lalu membagikannya kepada orang-orang yang hadir. Di antara mereka ada yang mengadakan di masjid-masjid. Di antara mereka ada yang mengadakan di rumah-rumah.

Di antara mereka ada yang tidak mencukupkan dengan apa yang telah disebutkan, lalu pertemuan itu dibuat mencakup hal-hal yang diharamkan dan kemungkaran-kemungkaran, berupa campur-aduk antara laki-laki dengan perempaun, tarian, nyanyian, atau perbuatan-perbuatan syirik, seperti minta dihilangkan kesusahan kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, memanggil beliau, meminta pertolongan kepada beliau terhadap musuh, dan lainnya.

Dan (peringatan maulid) itu, dengan berbagai ragamnya dan perbedaan bentuk-bentuknya, serta perbedaan niat orang-orang yang mengadakannya, tidak ada keraguan dan kebimbangan, bahwa itu merupakan perbuatan bid’ah yang diharamkan, perkara baru yang diada-adakan oleh (kelompok) Syi’ah (yang mengaku keturunan Fatimah Radhiyallahu 'anhuma, (diada-adakan) setelah tiga generasi yang utama untuk merusak agama umat Islam.[3]

Kemudian Syaikh Shalih al Fauzan menyebutkan berbagai syubhat orang-orang yang mengadakan perayaan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antara syubhat-syubhat itu adalah, bahwa perayaan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukkan kecintaan terhadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan menampakkan kecintaan kepada beliau Shallallahu 'alaihi was allam disyari’atkan.

Maka Syaikh Shalih al Fauzan membantah syubhat itu dengan mengatakan: “Tidak ada keraguan bahwa mencintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan kewajiban atas setiap muslim, lebih besar daripada mencintai dirinya sendiri, anak, bapak, dan manusia seluruhnya. Semoga shalawat-shalawat dan salam diberikan kepada beliau.

Tetapi bukan berarti kita (kemudian) mengadakan sesuatu perkara baru (bid’ah) yang tidak disyari’atkan untuk kita. Bahkan mencintai beliau mengharuskan mentaati dan mengikuti beliau. Karena hal itu merupakan perwujudan kecintaan yang paling besar. Sebagaimana dikatakan di dalam sya’ir:

لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا لَأَطَعْتَهُ إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعٌ

Seandainya kecintaanmu itu benar, pastilah engkau akan mentaatinya,
Sesungguhnya orang yang mencintai itu mentaati orang yang dia cintai.

Mencintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengharuskan menghidupkan sunnah (jalan, ajaran) beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, memegangnya kuat-kuat, dan menjauhi apa-apa yang menyelisihinya yang berupa perkataan dan perbuatan. Dan tidak ada keraguan, apa yang menyelisihi sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan bid’ah yang tercela dan kemaksiatan yang nyata, di antaranya adalah perayaan peringatan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bid’ah-bid’ah lainnya. Kebaikan niat tidak menjadikan bolehnya berbuat bid’ah di dalam agama. Karena sesungguhnya, agama itu dibangun di atas dua landasan, yaitu ikhlas (murni mencari ridha Allah) dan mutaba’ah (mengikuti sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ). Allah Ta’ala berfirman:

"(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan wajahnya kepada Allah (yaitu ikhlas, Pen), sedang ia berbuat kebajikan (yakni mutaba’ah. Pen), maka baginya pahala pada sisi Rabb-nya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati". [al Baqarah : 112].

Menyerahkan wajah kepada Allah adalah ikhlas kepada Allah, sedangkan ihsan (berbuat kebajikan) yakni mengikuti Rasul dan mencocoki sunnah.[4]

2. Memuji Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Secara Berlebihan.
Salah satu bentuk kecintaan adalah memuji kepada orang yang dicintai. Oleh karena itulah banyak sya’ir-sya’ir yang memuji Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan memuji sifat-sifat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apabila pujian itu sesuai dengan hakikatnya, tidak berlebihan, maka tidak mengapa. Sebagaimana sebagian para penyair di kalangan sahabat memuji Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti Hassaan bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah, Ka’b bin Malik, dan lainnya Radhiyallahu 'anhum.

Namun sebagian orang memuji Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara berlebihan, bahkan ada yang sampai derajat kemusyrikan. Maka, hal ini termasuk sikap ghuluw (melewati batas) yang dilarang keras oleh agama, walaupun dengan alasan cinta Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingatkan umatnya tentang hal ini dengan sabdanya:

لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

"Janganlah engkau memujiku secara berlebihan sebagaimana Nashara telah memujiku secara berlebihan terhadap (Isa) Ibnu Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah “hamba Allah dan RasulNya”. [HR Bukhari, no. 3445, dari sahabat Umar bin al Khaththab].

Di antara contoh pujian yang berlebihan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah, qasidah (kumpulan sya’ir) mimiyah (yang diakhiri dengan huruf mim) karya Ibnu Sa’id al Bushiri (meninggal tahun 695H) di kota Iskandariyah, Mesir. Qasidah ini sangat terkenal pada sebagian umat Islam. Qasidah ini berisi kisah maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga banyak dibaca sebagian umat Islam saat merayakan peringatan maulid Nabi. Qasidah ini dikenal dengan nama burdah (selimut), karena konon, pembuat qasidah ini meminta kesembuhan dari penyakit lumpuh separo yang dia derita, dengan perantaraan pembacaan qasidahnya, lalu dia bermimpi didatangi oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengusapnya sehingga penyakitnya sembuh. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan burdah kepadanya.

Perlu kita ketahui, bahwa mimpi tidak dapat dijadikan pedoman keyakinan dan hukum-hukum dalam masalah agama. Karena agama Islam telah sempurna, sehingga tidak membutuhkan tambahan dari mimpi-mimpi.

Penyimpangan nyata dari Qasidah Burdah Bushiri tersebut, antara lain adalah ucapannya pada bagian ke tiga dari qasidahnya:

يَا أَكْرَمَ الرُّسُلِ مَالِي مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ الْعَمِمِ

Wahai Rasul yang paling mulia, tidak ada bagiku orang yang aku berlindung kepadanya kecuali engkau, di saat terjadinya musibah yang merata

Perkataan ini merupakan doa di saat kesusahan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan doa kepada selain Allah adalah syirik akbar yang mengeluarkan dari agama Islam!

3. Menciptakan Shalawat-Shalawat Bid’ah Dan Mengamalkannya.
Sesungguhnya shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan salah satu bentuk ibadah yang agung. Kita dianjurkan memperbanyak bacaan shalawat, sehingga mengamalkannya merupakan sarana meraih kebaikan dan sekaligus menunjukkan kecintaan kita kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا

"Barangsiapa memohonkan shalawat atasku sekali, Allah bershalawat atasnya sepuluh kali". [HR Muslim, no. 408, dari Abu Hurairah].

Tetapi sayang, betapa banyak penyimpangan dan bid’ah yang dilakukan oleh banyak orang seputar shalawat Nabi. Antara lain tersebarnya shalawat-shalawat yang tidak disyari’atkan. Yaitu shalawat yang datang dari hadits-hadits dha’if (lemah), sangat dha’if, maudhu’ (palsu), atau tidak ada asalnya. Demikian juga shalawat yang dibuat-buat (umumnya oleh ahli bid’ah), kemudian mereka tetapkan dengan nama shalawat ini atau itu.

Shalawat seperti ini sangat banyak jumlahnya, bahkan sampai ratusan. Sebagai contoh, berbagai shalawat yang ada di dalam kitab Dalailul Khairat wa Syawariqul Anwar fii Dzikrish Shalah ‘ala Nabiyil Mukhtar, karya al Jazuli (meninggal th. 854H). Di antara shalawat bid’ah ini adalah shalawat Basyisyiyah, shalawat Nariyah, shalawat Fatih, dan lain-lain. Termasuk musibah, karena sebagian shalawat bid’ah itu mengandung kesyirikan.[5]

Jika demikian, maka mengamalkan shalawat-shalawat bid’ah itu merupakan kesesatan, bukan wujud kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

4. Merayakan Atau Mengagungkan Bekas-Bekas Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Yang Tidak Disyari’atkan Untuk Diagungkan.
Sebagian orang beranggapan bahwa salah satu bentuk mencintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah dengan melestarikan, mengunjungi dan mengagungkan bekas-bekas atau jejak-jejak dari tempat-tempat yang dikaitkan dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seperti tempat kelahiran beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, tempat tahannuts (ibadah) beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di goa Hira’, tempat bersembunyi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di goa Tsaur, tempat mendekamnya onta beliau di Quba, Madinah, sumur jatuhnya cincin beliau, dan semacamnya. Anggapan seperti ini merupakan anggapan yang salah, anggapan jahiliyah dahulu maupun sekarang.

Umar bin al Khaththab Radhiyallahu 'anhu telah memerintahkan menebang pohon yang di bawahnya telah terjadi Bai’atur Ridhwan.

Demikian juga beliau Radhiyallahu 'anhu telah melarang orang-orang mengagungkan tempat-tempat yang dianggap mulia karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat di sana. Inilah riwayat yang menjelaskan hal tersebut :

Dari Ma’rur bin Suwaid, dia berkata: Aku bersama Umar di antara Makkah dan Madinah, kemudian beliau Radhiyallahu 'anhu shalat fajar (Shubuh) dengan kami. Beliau Radhiyallahu 'anhu membaca

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ (surat al Fiil) dan bersama لإِيلاَفِ قُرَيْشٍ (surat al Quraisy). Kemudian beliau melihat serombongan orang yang singgah dan shalat di dalam sebuah masjid. Maka beliau bertanya tentang mereka, maka orang-orang mengatakan: “(Itu adalah) sebuah masjid yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat di dalamnya,” kemudian Umar mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu binasa karena menjadikan jejak-jejak Nabi mereka sebagai tempat-tempat ibadah. Barangsiapa melewati suatu masjid, kemudian (waktu) shalat hadir, hendaklah dia shalat. Jika tidak, maka hendaklah dia terus".[6]

Sikap Umar bin al Khaththab Radhiyallahu 'anhu di atas sebagai wujud untuk menjaga aqidah umat. Jangan sampai umat terjerumus ke dalam kemusyrikan disebabkan ghuluw (melewati batas) terhadap jejak-jejak (bekas-bekas) orang-orang shalih.

Dari sini kita mengetahui, bahwa menunjukkan kecintaan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan cara melestarikan peninggalannya dan mengagungkannya, adalah merupakan sarana menuju kebinasaan. Maka tidak sepantasnya dilakukan oleh orang yang benar-benar mencintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan cara mencintai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah dengan mewujudkan ittiba’ (mengikuti) terhadap sunnah beliau secara lahir batin, sebagaimana telah kami sampaikan.

Semoga kita memahami dan mengenal cara mewujudkan cinta kepada Rasullullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sebaik-baiknya. 

Oleh  :Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari

Bukti Dan Tanda Cinta Nabi Shallallahu Alaihi Wa Salam

Mencintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan kewajiban bagi setiap Muslim. Semuanya mengakui dan ingin mencintai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Untuk membuktikannya, diperlukan bukti dan tanda, yang dapat dijadikan sebagai standar kebenaran pengakuan cinta. Sebab, bila pengakuan tidak diwujudkan dengan bukti, maka apa artinya sebuah pengakuan? Karena tidak semua pengakuan cinta dianggap benar, kecuali jika diwujudkan dengan bukti dalam kehidupan sehari-harinya. Bukti dan tanda-tanda tersebut menunjukkan kecintaannya yang hakiki. Semakin banyak memiliki bukti dan tanda tersebut, maka semakin tinggi dan sempurna kecintaannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antara bukti dan tanda-tanda tersebut ialah sebagai berikut :

1. MENCONTOH DAN MENJALANKAN SUNNAH BELIAU SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM.
Mencontoh, mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, berjalan di atas manhaj beliau, berpegang teguh serta mengikuti seluruh pernyataan dan perbuatan beliau n , merupakan awal tanda cinta Rasul. Seseorang yang benar mencintai Rasulullah ialah orang yang mengikuti Rasulullah secara lahiriyah dan batiniyah, selalu menyesuaikan perkataan dan perbuatannya dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Anas bin Malik, beliau berkata:

قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا بُنَيَّ إِنْ قَدَرْتَ أَنْ تُصْبِحَ وَتُمْسِيَ لَيْسَ فِي قَلْبِكَ غِشٌّ لِأَحَدٍ فَافْعَلْ ثُمَّ قَالَ لِي يَا بُنَيَّ وَذَلِكَ مِنْ سُنَّتِي وَمَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadaku: "Wahai, anakku! Jika kamu mampu pada pagi sampai sore hari di hatimu tidak ada sifat khianat pada seorangpun, maka perbuatlah," kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadaku lagi: "Wahai, anakku! Itu termasuk sunnahku. Dan barangsiapa yang menghidupkan sunnahku, maka ia telah mencintaiku. Dan barangsiapa yang telah mencintaiku, maka aku bersamanya di Surga".[2]

Orang yang mencintai Rasulullah, ia harus membuktikan. Yaitu diwujudkan dengan semangat berpegang teguh dan menghidupkan Sunnah. Yakni mengamalkan sunnahnya, melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya, mendahulukan itu semua dari hawa nafsunya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai lebih daripada Allah dan RasulNya dan (dari) berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik". [at Taubah : 24].

"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [Ali Imran : 31].

2. BANYAK MENGINGAT DAN MENYEBUTNYA
Karena orang yang mencintai sesuatu, tentu akan banyak mengingat dan menyebutnya. Ini menjadi sebab tumbuh dan bersinambungnya kecintaan. Yang dimaksud banyak mengingat dan menyebut beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, tentunya dalam hal yang disyariatkan. Di antaranya:

a. Menyampaikan shalawat dan salam kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, untuk mengamalkan firman Allah.

"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya" [Faathir : 56].

Juga hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَهَبَ ثُلُثَا اللَّيْلِ قَامَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا اللَّهَ اذْكُرُوا اللَّهَ جَاءَتْ الرَّاجِفَةُ تَتْبَعُهَا الرَّادِفَةُ جَاءَ الْمَوْتُ بِمَا فِيهِ جَاءَ الْمَوْتُ بِمَا فِيهِ قَالَ أُبَيٌّ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُكْثِرُ الصَّلَاةَ عَلَيْكَ فَكَمْ أَجْعَلُ لَكَ مِنْ صَلَاتِي فَقَالَ مَا شِئْتَ قَالَ قُلْتُ الرُّبُعَ قَالَ مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قُلْتُ النِّصْفَ قَالَ مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قَالَ قُلْتُ فَالثُّلُثَيْنِ قَالَ مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قُلْتُ أَجْعَلُ لَكَ صَلَاتِي كُلَّهَا قَالَ إِذًا تُكْفَى هَمَّكَ وَيُغْفَرُ لَكَ ذَنْبُكَ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dulu, bila berlalu dua pertiga malam, beliau bangun dan berkata: "Wahai, sekalian manusia! Berdzikirlah kepada Allah, berdzikirlah kepada Allah. Pasti datang tiupan sangkakala pertama yang diikuti dengan yang kedua, datang kematian dengan kengeriannya, datang kematian dengan kengeriannya".
Ubai berkata: Aku bertanya,"Wahai, Rasulullah! Aku memperbanyak shalawat untukmu. Berapa banyak aku bershalawat untukmu?"
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,"Sesukamu," lalu Ubai berkata lagi: Aku berkata,"Seperempat."
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,"Terserah, tetapi jika engkau tambah, maka itu lebih baik." Aku berkata,"Setengahnya."
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab lagi: "Terserah, tetapi jika engkau tambah, maka itu lebih baik bagimu," maka aku berkata lagi: "Kalau begitu, dua pertiga".
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,"Terserah, jika engkau kamu tambah, maka itu lebih baik bagimu," lalu aku berkata,"Aku jadikan seluruh (doaku) adalah shalawat untukmu," Maka Rasulullah menjawab: "Jika begitu (shalawat) itu mencukupkan keinginanmu (dunia dan akhirat) dan Allah akan mengampuni dosamu".[3]

Ibnul Qayyim menyatakan, Syaikh kami Abul Abas Ibnu Taimiyah ditanya tentang tafsir hadits ini, beliau mengatakan, waktu itu Ubai memiliki doa yang digunakan untuk dirinya sendiri, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, apakah ia menjadikan seperempat doanya juga untuk bershalawat kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ? Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata lagi: "… jika engkau tambah, maka itu lebih baik bagimu". Dia menjawab, "Setengahnya". Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "… jika engkau tambah, maka itu lebih baik bagimu". Sampai kemudian Ubai menyatakan: "Aku jadikan seluruh (doaku) adalah shalawat untukmu". Lalu Rasulullah menjawab: "Jika begitu (shalawat) itu mencukupkan keinginanmu (dunia dan akhirat) dan Allah akan mengampuni dosamu". Demikian ini, karena orang yang bershalawat satu kali untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia akan mendapatkan shalawat dari Allah sepuluh kali. Dan barangsiapa yang mendapat shalawat Allah, maka tentu akan dapat mencukupi semua keinginannya dan diampuni dosa-dosanya. Inilah pengertian ucapan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.[4]

b. Menyebut keutamaan dan kekhususan sifat, akhlak dan perilaku utama yang Allah berikan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga menjadikan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai contoh. Juga menyebut mu’jizat serta bukti kenabian untuk mengenal kedudukan dan martabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan demikian, dapat mengenalkan kepada orang lain dan mengingatkan mereka, sehingga semakin meningkatkan keimanan dan kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ketika menyebutkan faidah yang didapat dari shalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: "Ketika seseorang memperbanyak menyebut kekasihnya, mengingatnya di dalam hati dan mengingat kebaikan-kebaikan serta faktor-faktor yang menumbuhkan perasaan cinta kepadanya, maka semakin berlipat kecintaan dan bertambah rindu kepada kekasihnya tersebut, hingga memenuhi seluruh hatinya. Apabila ia sama sekali tidak menyebut dan tidak mengingatnya, dan tidak mengingat kebaikan-kebaikan sang kekasih di hatinya, maka akan berkurang rasa cinta di hatinya. Memang tidak ada yang dapat menyenangkannya lebih dari melihat kekasihnya tersebut. Juga tidak ada yang menyejukkan hatinya lebih dari menyebut dan mengingat sang kekasih dan kebaikan-kebaikannya. Apabila hal ini kuat di hatinya, maka lisannya langsung akan memuji dan menyebut kebaikan-kebaikannya. Bertambah dan berkurangnya hal ini, sesuai dengan bertambah dan berkurangnya rasa cinta di hatinya. Indera kita menjadi saksi kebenaran hal itu". [5]

c. Bersikap santun dan beradab dengan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik dalam menyebut nama atau memanggilnya.

Allah berfirman :

"Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih" [an Nuur : 63].

Atau bersikap santun dalam menerima dan mentaati perintah ataupun larangannya, serta membenarkan semua berita yang disampaikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ibnul Qayyim mengatakan, bahwa adab tertinggi terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, adalah secara penuh menerima, tunduk patuh kepada perintahnya dan menerima beritanya, membenarkan tanpa ada penentangan dengan khayalan batil yang dinamakan ma’qul (masuk akal), syubhat, keraguan-raguan, atau mendahulukan pendapat para intelektual dan pemikiran mereka yang. Sehingga berhukum dan menerima, tunduk dan taat, hanya kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. [6]

3. BERHARAP MELIHAT BELIAU SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM DAN RINDU BERJUMPA DENGANNYA, WALAUPUN HARUS MEMBAYARNYA DENGAN HARTA DAN KELUARGA.
Tanda kecintaan ini dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam:

مِنْ أَشَدِّ أُمَّتِي لِي حُبًّا نَاسٌ يَكُونُونَ بَعْدِي يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ رَآنِي بِأَهْلِهِ وَمَالِهِ

"Di antara umatku yang paling mencintaiku adalah, orang-orang yang hidup setelahku. Salah seorang dari mereka sangat ingin melihatku, walaupun menebus dengan keluarga dan harta".[7]

Juga dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ فِي يَدِهِ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أَحَدِكُمْ يَوْمٌ وَلَا يَرَانِي ثُمَّ لَأَنْ يَرَانِي أَحَبُّ إِلَيْهِ مَنْ أَهْلِهِ وَمَالِهِ

"Demi Dzat, yang jiwa Muhammad di tanganNya (Allah). Pasti akan datang pada salah seorang dari kalian satu waktu, dan ia tidak melihatku, kemudian melihat aku lebih ia cintai dari keluarga dan hartanya".[8]

4. NASIHAT UNTUK ALLAH, KITABNYA, RASULNYA DAN PEMIMPIN KAUM MUSLIMIN SERTA UMUMNYA KAUM MUSLIMIN.

5. BELAJAR AL-QUR'AN, MEMBACA DAN MEMAHAMI MAKNANYA
Demikian juga belajar sunnahnya, mengajarkannya dan mencintai ahlinya (Ahlu Sunnah).

Al Qadhi Iyadh menyatakan, di antara tanda-tanda mencintai Rasulullah adalah, mencintai al Qur`an yang diturunkan kepadanya; dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengambil petunjuk, membimbing (manusia) dengannya serta berakhlak dengannya, sehingga 'Aisyah menyatakan:

إِنَّ خُلُقُ نِبِيِّ الله كَانَ القُرْآن

"Sesungguhnya akhlak beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah al Qur`an" [9].

Ibnu Mas’ud berkata: "Janganlah seseorang menanyakan untuk dirinya, kecuali al Qur`an. Apabila ia mencintai al Qur`an, maka (berarti) ia mencintai Allah dan RasulNya" [10].

6. MENCINTAI ORANG YANG DICINTAI RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM.
a. Ahli baitnya (kerabat).
Imam al Baihaqi berkata: "Dan termasuk dalam lingkup kecintaan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu mencintai Ahli Bait".[11]

Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728 H) mengatakan, di antara ushul Ahlus Sunnah wal Jama’ah, (yakni) mereka mencintai Ahli Bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan memberikan loyalitas kepada mereka, serta menjaga wasiat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang mereka [12]. Kemudian beliau rahimahullah menyatakan: "Ahlu Bait Rasulullah memiliki hak-hak yang wajib dipelihara, karena Allah menjadikan untuk mereka hak dalam al Khumus, al Fai’, dan memerintahkan bershalawat untuk mereka bersama shalawat untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam".[13]

Siapakah yang disebut Ahlul Bait? Ibnu Taimiyah rahimahullah mendefinisikan, bahwa Ahli Bait Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang diharamkan mengambil shadaqah. Demikian pendapat Imam asy Syafi’i dan Ahmad bin Hambal serta yang lainnya dari para ulama.

b. Para istri beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ahlu Sunnah wal Jama’ah menjaga keutamaan dan hak-hak mereka, dan meyakini mereka tidak sama seperti para wanita lainnya. Allah telah membedakannya dalam firmanNya :

"Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain" [al Ahzab : 32]

Allah menjadikan isteri-isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai ibu kaum Mukminin di dalam firmanNya:

"Dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka" [al Ahzab : 6].

Keutamaan isteri-isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga gambar dari firman Allah surat al Ahzab ayat 53, yang menyebutkan haramnya menikahi mereka setelah Rasulullah n wafat. Allah berfirman :

"Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah" [al Ahzab : 53].

Dengan mengetahui keutamaan isteri-isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga kita wajib untuk menjaga hak-hak mereka setelah mereka wafat, bershalawat untuk mereka bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, memohonkan ampunan bagi mereka, serta menjelaskan pujian dan keutamaan mereka.

c. Para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Imam al Baihaqi menyatakan, termasuk kecintaan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu mencintai para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena Allah telah memuji mereka dalam firmanNya :

"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih-sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar" [al Fath : 29].

"Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu'min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)" [al Fath:18].

Imam al Baihaqi mengatakan: "Apabila mereka (para sahabat) telah mendapatkan kedudukan ini, maka mereka memiliki hak dari kaum Muslimin untuk mencintai mereka dan mendekatkan diri kepada Allah dengan kecintaan kepada mereka, karena apabila Allah meridhai seseorang, maka Dia mencintainya, dan wajib atas seorang hamba untuk mencintai orang yang dicintai Allah".[15]

Umat islam wajib mencintai sahabat, meridhoi mereka dan mendo’akan kebaikan untuk mereka, sebagaimana Allah perintahkan dalam firmanNya:

"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya, Rabb kami. Beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya, Rabb kami. Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Peyanyang"" [al Hasyr : 10].

Menurut Imam al Baihaqi, apabila mencintai sahabat termasuk iman, maka mencintai mereka mempunyai makna meyakini dan mengakui keutamaan-kutamaan mereka, mengetahui bahwa masing-masing mereka memiliki hak yang harus ditunaikan. Setiap yang memiliki kepedulian kepada Islam, (hendaknya) diperhatikan. Serta yang memiliki kedudukan khusus di sisi Rasulullah ditempatkan kedudukannya, menyebarkan kebaikan-kebaikan mereka dan mendoakan kebaikan untuk mereka, mencontoh mereka dalam semua permasalahan agama. Tidak boleh mencari-cari kesalahan dan ketergelinciran mereka.[16]

Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab al Aqidah al Wasithiyah mengatakan, di antara ushul (pokok ajaran) Ahlu Sunnah wal Jamaah adalah, selamatnya hati dan lisan dari mencela para sahabat Rasulullah, sebagaimana disifatkan Allah dalam firmanNya:

"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya, Rabb kami. Beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya, Rabb kami. Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Peyanyang".[al Hasyr : 10].

Juga sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَ الَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

"Janganlah kalian mencela para sahabatku. Demi Allah, seandainya salah seorang kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, tidak akan menyamai satu mud mereka dan tidak pula separuhnya".

Ahlus Sunnah menerima keutamaan-keutamaan dan martabat mereka yang telah dijelaskan dalam al Qur`an dan As Sunnah serta Ijma'. Ahlus Sunnah juga mendahulukan orang yang berinfaq dan berperang sebelum al Fathu –perjanjian Hudaibiyah- dari orang yang berinfaq dan berperang setelah itu. Ahlus Sunnah mendahulukan para Muhajirin atas Anshar, serta beriman bahwa Allah telah berfirman kepada orang-orang yang ikut serta dalam perang Badar, berjumlah tigaratus sekian belas orang -Berbuatlah sesuka hati kalian, karena kalian sungguh telah diampuni.

Ahlus Sunnah juga beriman, orang-orang yang yang berbaiat di bawah pohon (Bai’at Ridwan), tidak ada seorangpun di antara mereka yang masuk neraka. Bahkan Allah telah meridhai mereka, dan mereka ridha kepada Allah. Jumlah mereka lebih dari seribu empat ratus orang. Ahlus Sunnah bersaksi, orang-orang yang dipersaksikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai ahli Surga -seperti sepuluh orang yang dijanjikan masuk Surga (al ‘Asyarah)-, Tsabit bin Qais bin Syammas dan sahabat-sahabat lainnya.

Ahli Sunnah beriman dengan pernyataan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya, yang telah dinukil secara mutawatir, bahwa sebaik-baik umat ini setelah Nabi adalah Abu Bakar, kemudian Umar, dan menetapkan yang ketiga adalah Utsman, yang keempat adalah Ali. Demikian ini sebagaimana disebutkan dalam atsar. Para sahabat bersepakat mendahulukan 'Utsman dalam hal Bai’at, berkaitan dengan adanya sebagian Ahlus Sunnah yang pernah berselisih antara 'Utsman dan Ali -setelah kesepakatan mendahulukan Abu Bakar dan Umar- siapakah dari keduanya yang lebih utama? Sebagian orang mendahulukan 'Utsman dan diam, atau menetapkan keempat adalah Ali. Sebagian lainnya mendahulukan Ali serta sebagian yang lainnya diam tidak bersikap. Namun, kaum Muslimin telah tetap mendahulukan 'Utsman kemudian Ali, walaupun masalah ini –yaitu masalah 'Utsman dan Ali- bukan termasuk pokok dasar (ushul) yang digunakan untuk menghukumi sesat kepada orang yang menyelisihinya -menurut mayoritas Ahlu Sunnah-. Akan tetapi yang digunakan untuk memvonis sesat adalah masalah kekhilafahannya. Hal itu karena khalifah setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Abu Bakar, kemudian 'Umar, kemudian 'Utsman, kemudian Ali. Barangsiapa mencela kekhilafahan salah seorang dari mereka, maka ia lebih sesat dari keledai. [17]

Demikian sebagian pernyataan para ulama seputar permasalah ini.

7. MEMBENCI ORANG YANG DIBENCI OLEH ALLAH DAN RASULNYA
Memusuhi orang yang memusuhi Allah dan RasulNya. Menjauhi orang yang menyelelisihi sunnahnya dan berbuat bid’ah dalam masalah agama, dan merasa berat atas semua perkara yang menyelisihi syari’at. Allah berfirman:

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka denga pertolongan yang datang daripadaNya. Dan dimasukkanNya mereka ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung" [al Mujadilah : 22].

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, bahwa seorang mukmin wajib memusuhi karena Allah dan berloyalitas karena Allah. Apabila disana ada orang mukmin, maka ia wajib memberikan loyalitas kepadanya –walaupun ia berbuat zhalim- karena kezhaliman tidak memutus loyalitas iman. Allah berfirman:

"Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu, dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat". [al Hujurat : 9-10].

Allah menyebutkan persaudaraan, walaupun terjadi peperangan dan perbuatan aniaya. Allah memerintahkan perdamaian di antara mereka. Sehingga diwajibkan memberikan loyalitas kepada mukmin, walaupun ia menzhalimi dan berbuat aniaya kepadamu. Sedangkan orang kafir, maka ia wajib dimusuhi, walaupun ia telah memberi dan berbuat baik kepadamu.

Hal ini, lantaran Allah telah mengutus para rasul dan menurunkan kitab suci, agar agama ini semua untukNya, sehingga cinta, kemuliaan dan pahala hanyalah untuk para waliNya. Adapun kebencian, kehinaan dan siksaan untuk para musuhNya.

Apabila terkumpul pada diri seseorang kebaikan, keburukan dan kefajiran, ketaatan dan kemaksiatan, sunnah dan bid’ah, maka ia berhak mendapatkan loyalitas dan pahala, sesuai dengan kebaikan yang dimilikinya. Dia (juga) berhak mendapatkan permusuhan dan siksaan, sesuai dengan keburukan yang dimilikinya. Sebab terkumpul pada orang tersebut kemuliaan dan kehinaan, lalu berkumpul ini dan itu, seperti pencuri yang fakir dipotong tangannya karena mencuri, dan ia diberi dari Baitul Mal sesuatu untuk mencukupi kebutuhannya. Inilah dasar pokok (asal) yang disepakati Ahlu Sunnah wal jama’ah.[18]

Demikian sebagian tanda dan bukti penting perwujudan cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Semoga Allah memudahkan kita untuk dapat merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Wabillahi taufiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12//Tahun IX/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]