Sewaktu saya masih kecil, belajar di madrasah diniyah, saya selalu mendapatkan penjelasan bahwa pelajaran berhitung, ilmu bumi, ilmu hewan dan lain-lain, dalam agama tidak diperintahkan untuk dipelajari. Yang seharusnya dipelajari oleh seorang santri adalah Bahasa Arab, fiqh, tauhid, akhlak dan sejenisnya. Ditambahkan bahwa pelajaran berhitung dan lain-lain itu, tidak masuk sebagai bekal untuk menjawab pertanyaan di alam kubur.
Guru madrasah diniyah menjelaskan perbedakan antara ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu umum memang penting sebagai bekal hidup di dunia, sedangkan ilmu agama sangat diperlukan untuk bekal kehidupan di akherat. Hidup di dunia, menurut penjelasan guru ngaji, hanya sebentar sedangkan hidup di akherat akan kekal selama-lamanya. Juga dipertegas bahwa rugi di dunia tidak mengapa, tetapi jangan sampai merugi di akherat.
Kebanyakan anak pedesaan, seperti saya, di pagi hari belajar di sekolah rakyat atau sekarang disebut sekolah dasar, sedangkan pada sore hari belajar di madrasah diniyah. Di sekolah belajar untuk mencari bekal hidup di dunia, sedangkan sore hari belajar untuk mendapatkan bekal di akherat. Pembedaan seperti itu mempertegas pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama, guru ilmu umum dan guru agama. Belajar ilmu umum disebut sekolah, sedangkan belajar ilmu agama disebut dengan mengaji di madrasah diniyah.
Semula masyarakat pedesaan terbelah menjadi dua, ada yang lebih mementingkan ilmu agama, tetapi ada pula yang lebih mementingkan ilmu umum. Sementara orang tua akan memarahi anaknya, jika mereka tidak masuk diniyah dan tidak diapa-apakan kalau tidak masuk sekolah. Begitu pula sebaliknya, ada yang membiarkan anaknya tidak mengaji, asalkan sudah belajar di sekolah umum. Keadaan seperti itu pada perkembangan selanjutnya, ternyata berubah. Ilmu agama dan ilmu umum, keduanya dianggap sama-sama penting.
Rupanya pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam, diperoleh dari tahap demi tahap, berproses, dan tidak sekaligus. Tahap-tahap itu kadang berjalan begitu lama. Ajaran Islam yang semula hanya dianggap terkait dengan persoalan ibadah ritual, maka lama kelamaan dirasakan sedemikian luas. Disadari bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah bersifat universal, menyangkut berbagai aspek, dari urusan ibadah ritual, hingga perintah mengembangkan ilmu pengetahuan, pendidikan, ekonomi,sosial, hukum, dan lain-lain.
Proses pemahaman Islam yang luas dan utuh itu masih senantiasa berjalan, termasuk dalam memahami kelembagaannya. Dulu para kyai, di pesantrennya hanya mengajarkan kitab kuning, yang selanjutnya dikenal sebagai pesantren salaf. Pesantren tersebut semakin lama semakin berkembang, dan akhirnya menjadi pesantren modern dengan menambahkan pelajaran umum. Di pesantren kemudian juga dibuka madrasah dengan kurikulum modern. Lebih dari itu, di pesantren juga dibuka sekolah umum dan ketrampilan. Bahkan juga didirikan perguruan tinggi umum, dengan membuka fakultas teknik, fakultas pertanian, ilmu kesehatan dan lain-lain.
Perubahan pandangan secara mendasar tersebut juga terjadi di perguruan tinggi agama Islam yang dikelola oleh pemerintah sekalipun. Perguruan tinggi Islam yang semula hanya berupa sekolah tinggi agama Islam, kemudian diubah dan dinegerikan menjadi Institut Agama Islam Negeri atau IAIN. Dalam perkembangan terakhir, IAIN berubah lagi bentuknya menjadi universitas, atau UIN. Setelah menjadi UIN, maka diajarkan ilmu umum dan sekaligus ilmu agama secara terintegratif. Akhirnya berkembang wacara, bahwa ilmu dalam Islam tidak selayaknya dipisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum.
Perubahan pandangan di kalangan perguruan tinggi itupun ternyata juga bertahap, dan tidak semua pihak bisa mengikuti secara serentak. Ada saja orang yang masih belum sepaham bahwa ilmu umum dan agama harus dilihat sebagai satu kesatuan. Bahkan perubahan bentuk dari IAIN atau STAIN menjadi UIN, masih ada yang mengkhawatirkan, ilmu agama menjadi terdesak, dan akhirnya mati oleh karena dikalahkan ilmu-ilmu umum.
Proses perkembangan itu sudah melalui waktu yang lama. Akan tetapi ternyata, masih saja ada warga IAIN yang belum ikhlas jika institusinya berubah menjadi UIN. Sebagai akibatnya, ada sementara kyai di pedesaan, membedakan perguruan tinggi Islam menjadi dua, yaitu perguruan tinggi salafiyah dan perguruan tinggi kholafiyah. IAIN oleh kyai dimaksud, disebut sebagai perguruan tinggi salaf, sementara UIN disebut sebagai perguruan tinggi kholaf. Hal itu sama dengan pesantren, ada pesantren salaf dan ada pula pesantren kholaf.
Sekalipun ajaran Islam sudah sempurna, ayat-ayat al Qur’an sudah ditulis secara lengkap dan sempurna, dan demikian pula hadits nabi, tetapi sebagaimana dikemukakan di muka, pemahaman ummat terhadap kitab suci dan sejarah kehidupan nabi tidak terjadi sekaligus. Pemahaman itu diperoleh secara bertahap, dari waktu ke waktu, semakin lama-semakin sempurna. Tahap demi tahap itu akhirnya sampai pada kesadaran bahwa al Qur’an berisi ajaran yang luas dan bahkan universal.
Ajaran Islam yang bersumber al Qur’an dan Sunnah Nabi, sejalan dengan perkembangan pemikiran para pemeluknya, semakin dipahami, tidak saja berisi tentang tuntutan kegiatan ritual, tetapi juga merupakan sumber ilmu yang amat luas, menyangkut semua aspek kehidupan. Sekalipun kitab suci itu, dalam hal-hal tertentu, berisi ajaran yang bersifat garis besar, tetapi sangat sempurna. Al Qur’an memerintahkan kepada ummatnya untuk membaca alam semesta, menggali ilmu pengetahuan, selalu meningkatkan kualitas hidup, menjalankan ritual, dan agar selalu bekerja atas dasar pengetahuan dan kemampuan yang tinggi.
Keluasaan isi al Qur’an, di antaranya dapat dipahami dari konsep yang sedemikian indah, yaitu ulul al baab. Sebutan ulul al baab ditujukan pada orang selalu berdzikir dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. Atas dasar konsep tersebut maka ternyata, al Qur’an tidak saja mengajarkan berdzikir, tetapi juga memerintahkan manusia agar mempelajari penciptaan langit dan bumi. Dalam ilmu modern, alam semesta, atau langit dan bumi serta seisinya, dikemas menjadi ilmu fisika, biologi, kimia, psikologi, sosiologi, sejarah, antropologi, humaniora, dan berbagai cabangnya. Wallahu a’lam.
Guru madrasah diniyah menjelaskan perbedakan antara ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu umum memang penting sebagai bekal hidup di dunia, sedangkan ilmu agama sangat diperlukan untuk bekal kehidupan di akherat. Hidup di dunia, menurut penjelasan guru ngaji, hanya sebentar sedangkan hidup di akherat akan kekal selama-lamanya. Juga dipertegas bahwa rugi di dunia tidak mengapa, tetapi jangan sampai merugi di akherat.
Kebanyakan anak pedesaan, seperti saya, di pagi hari belajar di sekolah rakyat atau sekarang disebut sekolah dasar, sedangkan pada sore hari belajar di madrasah diniyah. Di sekolah belajar untuk mencari bekal hidup di dunia, sedangkan sore hari belajar untuk mendapatkan bekal di akherat. Pembedaan seperti itu mempertegas pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama, guru ilmu umum dan guru agama. Belajar ilmu umum disebut sekolah, sedangkan belajar ilmu agama disebut dengan mengaji di madrasah diniyah.
Semula masyarakat pedesaan terbelah menjadi dua, ada yang lebih mementingkan ilmu agama, tetapi ada pula yang lebih mementingkan ilmu umum. Sementara orang tua akan memarahi anaknya, jika mereka tidak masuk diniyah dan tidak diapa-apakan kalau tidak masuk sekolah. Begitu pula sebaliknya, ada yang membiarkan anaknya tidak mengaji, asalkan sudah belajar di sekolah umum. Keadaan seperti itu pada perkembangan selanjutnya, ternyata berubah. Ilmu agama dan ilmu umum, keduanya dianggap sama-sama penting.
Rupanya pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam, diperoleh dari tahap demi tahap, berproses, dan tidak sekaligus. Tahap-tahap itu kadang berjalan begitu lama. Ajaran Islam yang semula hanya dianggap terkait dengan persoalan ibadah ritual, maka lama kelamaan dirasakan sedemikian luas. Disadari bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah bersifat universal, menyangkut berbagai aspek, dari urusan ibadah ritual, hingga perintah mengembangkan ilmu pengetahuan, pendidikan, ekonomi,sosial, hukum, dan lain-lain.
Proses pemahaman Islam yang luas dan utuh itu masih senantiasa berjalan, termasuk dalam memahami kelembagaannya. Dulu para kyai, di pesantrennya hanya mengajarkan kitab kuning, yang selanjutnya dikenal sebagai pesantren salaf. Pesantren tersebut semakin lama semakin berkembang, dan akhirnya menjadi pesantren modern dengan menambahkan pelajaran umum. Di pesantren kemudian juga dibuka madrasah dengan kurikulum modern. Lebih dari itu, di pesantren juga dibuka sekolah umum dan ketrampilan. Bahkan juga didirikan perguruan tinggi umum, dengan membuka fakultas teknik, fakultas pertanian, ilmu kesehatan dan lain-lain.
Perubahan pandangan secara mendasar tersebut juga terjadi di perguruan tinggi agama Islam yang dikelola oleh pemerintah sekalipun. Perguruan tinggi Islam yang semula hanya berupa sekolah tinggi agama Islam, kemudian diubah dan dinegerikan menjadi Institut Agama Islam Negeri atau IAIN. Dalam perkembangan terakhir, IAIN berubah lagi bentuknya menjadi universitas, atau UIN. Setelah menjadi UIN, maka diajarkan ilmu umum dan sekaligus ilmu agama secara terintegratif. Akhirnya berkembang wacara, bahwa ilmu dalam Islam tidak selayaknya dipisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum.
Perubahan pandangan di kalangan perguruan tinggi itupun ternyata juga bertahap, dan tidak semua pihak bisa mengikuti secara serentak. Ada saja orang yang masih belum sepaham bahwa ilmu umum dan agama harus dilihat sebagai satu kesatuan. Bahkan perubahan bentuk dari IAIN atau STAIN menjadi UIN, masih ada yang mengkhawatirkan, ilmu agama menjadi terdesak, dan akhirnya mati oleh karena dikalahkan ilmu-ilmu umum.
Proses perkembangan itu sudah melalui waktu yang lama. Akan tetapi ternyata, masih saja ada warga IAIN yang belum ikhlas jika institusinya berubah menjadi UIN. Sebagai akibatnya, ada sementara kyai di pedesaan, membedakan perguruan tinggi Islam menjadi dua, yaitu perguruan tinggi salafiyah dan perguruan tinggi kholafiyah. IAIN oleh kyai dimaksud, disebut sebagai perguruan tinggi salaf, sementara UIN disebut sebagai perguruan tinggi kholaf. Hal itu sama dengan pesantren, ada pesantren salaf dan ada pula pesantren kholaf.
Sekalipun ajaran Islam sudah sempurna, ayat-ayat al Qur’an sudah ditulis secara lengkap dan sempurna, dan demikian pula hadits nabi, tetapi sebagaimana dikemukakan di muka, pemahaman ummat terhadap kitab suci dan sejarah kehidupan nabi tidak terjadi sekaligus. Pemahaman itu diperoleh secara bertahap, dari waktu ke waktu, semakin lama-semakin sempurna. Tahap demi tahap itu akhirnya sampai pada kesadaran bahwa al Qur’an berisi ajaran yang luas dan bahkan universal.
Ajaran Islam yang bersumber al Qur’an dan Sunnah Nabi, sejalan dengan perkembangan pemikiran para pemeluknya, semakin dipahami, tidak saja berisi tentang tuntutan kegiatan ritual, tetapi juga merupakan sumber ilmu yang amat luas, menyangkut semua aspek kehidupan. Sekalipun kitab suci itu, dalam hal-hal tertentu, berisi ajaran yang bersifat garis besar, tetapi sangat sempurna. Al Qur’an memerintahkan kepada ummatnya untuk membaca alam semesta, menggali ilmu pengetahuan, selalu meningkatkan kualitas hidup, menjalankan ritual, dan agar selalu bekerja atas dasar pengetahuan dan kemampuan yang tinggi.
Keluasaan isi al Qur’an, di antaranya dapat dipahami dari konsep yang sedemikian indah, yaitu ulul al baab. Sebutan ulul al baab ditujukan pada orang selalu berdzikir dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. Atas dasar konsep tersebut maka ternyata, al Qur’an tidak saja mengajarkan berdzikir, tetapi juga memerintahkan manusia agar mempelajari penciptaan langit dan bumi. Dalam ilmu modern, alam semesta, atau langit dan bumi serta seisinya, dikemas menjadi ilmu fisika, biologi, kimia, psikologi, sosiologi, sejarah, antropologi, humaniora, dan berbagai cabangnya. Wallahu a’lam.
oleh Imam Suprayogo Dua pada 10 Juni 2011 jam 15:48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar